Minggu, Juni 03, 2012

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN



A.     Tugas-Tugas Perkembangan Remaja Berkenaan Dengan Kehidupan Berkeluarga
1.      Pengertian Kehidudupan Berkeluarga
Bagian ini menguraikan tugas perkembangan remaja dalam hubungannya dengan persiapan mereka untuk memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan berkeluarga. Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa secara biologis pertumbuhan remaja telah mencapai kematangan seksual, yang berarti bahwa secara biologis remaja telah siap melakukan fungsi produksi. Kematangan fungsi seksual tersebut berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja dan telah mulai tertarik kepada lawan jenis. Garrison (1956) menyatakan bahwa dorongan seksual pada masa remaja adalah cukup kuat, sehingga perlu dipersiapkan secara mantap tentang hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan, karena masalah tersebut mendasari pemikiran mereka untuk mulai menetapkan pasangan hidupnya. Untuk ini sekolah perlu memberikan perhatian secara khusus tentang masalah-masalah perkawinan tersebut, dalam bentuk pendidikan seksual atau kegiatan yang lain bagi remaja sebagai persiapan baginya dalam menghadapi fungsinya sebagai orang tua di kemudian hari.
Berkenaan dengan upaya untuk menetapkan pilihan pasangan hidup, perkembangan sosial psikologis remaja ditandai dengan upaya menarik lawan jenis dengan berbagai cara yang ditunjukkan dalam bentuk perilaku. Remaja laki-laki berupaya untuk mencapai posisi prestasi akademik dan atletik (bidang olah raga) yang baik, sebab kedua hal itu merupakan gejala yang "dinilai" sebagai pertanda unggul dan menunjukkan kehebatan di antara sesama laki-laki. Sebaliknya bagi remaja wanita berupaya untuk menjadi "seorang wanita" yang baik. Upaya menjadi wanita yang baik itu diartikan sebagai " wanita yang dikenal baik" di mata laki-laki, maka seorang gadis perlu berperilaku "baik" sebagaimana "diharapkan oleh laki-laki". Wanita perlu menjadi gadis yang "manis", tidak terlalu hebat di dalam bidang akademik, tidak terlalu banyak bicara di dalam kelas, tetapi harus menjadi wanita yang sportif di hadapan seorang laki-laki (Sherman dan Wood, 1979: 152). Dari studi yang dilakukan Mirra Komarovsky (Sherman dan Wood, 1979: 152), 40 persen gadis yang diwawancarai menyatakan lebih banyak "membisu" pada saat berkencan dengan laki-laki, sekurang-­kurangnya "hanya bicara seperlunya". Popularitas bagi wanita pada kenyataannya diartikan sebagai wanita yang berhasil dalam pergaulan di sekolah menengah, bukan karena kehebatan dalam "berpikir" dan dalam perilaku atletisnya. la (mereka) lebih baik memainkan perannya dalam "pimpinan penggembira" atau cherleader. Peringatan ulang tahun ke-17, bagi seorang gadis sangat penting. Sebab hal itu berarti pula sebagai "advertensi " baginya dalam upaya menentukan pilihan pasangan hidupnya. Dalam situasi pergaulan yang khusus atau ber­kencan, seorang gadis hendaknya dalam sikap pasif dan perjaka yang lebih bersikap aktif.
Pada umumnya remaja, khususnya wanita, tidak mengalami kesulitan untuk menerima tugas tersebut. Hanya sebagian kecil dari mereka mengalami sedikit kesulitan. Umumnya mereka yang mengalami kesulitan itu adalah remaja wanita (gadis) yang menginginkan kedudukan yang sama dengan laki-laki. la (mereka) merasa dan menganggap diri­nya memiliki potensi yang sama dengan laki-laki, sehingga ia ingin bebas dan mandiri seperti halnya laki-laki. la lebih mengagumi kehebatan ayah, sehingga pemikirannya terbawa untuk ingin sama dengan ayahnya (havihurst dalam Kasiram, 1985: 55).
Terlebih dari yang diuraikan diatas. Materi Penyiapan Kehidupan Berkeluarga dirasakan sangatlah penting bagi Remaja karena merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah-masalah remaja yang berkaitan dengan praktek kehidupan dalam keluarga. Dengan memberikan informasi yang tepat dan benar tentang kehidupan berkeluarga sehingga para remaja mempunyai pengetahuan yang cukup tentang konsep kehidupan berkeluarga. Informasi ini disertai dengan contoh-contoh konkrit dari pasangan suami isteri yang telah berhasil dalam membina kehidupan berkeluarga.
Terlihat terlalu dini dalam mengenalkan konsep berkeluarga?
Sebenarnya tidak, sebab setiap individu yang mulai masuk dalam tingkat kematangan seksual diindikasikan terjadi penyalahgunaan terhadap dorongan biologis kedewasaannya. Untuk itu, pemikiran serta kepribadian mengenai praktek kehidupan berkeluarga.
Menurut Dr. Sugiri Syarief (Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional [BKKBN]) untuk merealisasikan keluarga ideal, disarankan agar para keluarga di Indonesia melaksakan delapan fungsi keluarga.
a)  Pertama adalah fungsi agama. Ini merupakan fungsi yang mendorong keluarga agar dapat menjadi wahana pembinaan kehidupan beragama yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)  Kedua, adalah fungsi sosial budaya dimana diharapkan para keluarga dapat menjadi wahana pembinaan dan persemaian nilai-nilai yang luhur dari budaya tersebut, sehingga nilai luhur yang selama ini sudah menjadi panutan dalam kehidupan berbangsa tetap dapat dipertahankan dan dipelihara.
c)  Ketiga adalah fungsi cinta kasih. Mengapa cinta kasih? Tentu karena cinta kasih memiliki makna untuk mendorong keluarga agar dapat menciptakan suasana cinta dan kasih sayang dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d)  Keempat adalah perlindungan yang diartikan untuk mendorong keluarga agar dapat menciptakan suasana aman, nyaman, damai, dan adil bagi seluruh anggota keluarganya.
e)  Kelima adalah fungsi reproduksi berintikan, yakni setiap keluarga dapat menerapkan cara hidup sehat, mengerti tentang kesehatan reproduksinya.
f)    Untuk yang keenam adalah fungsi pendidikan, yang bukan hanya berhubungan dengan kecerdasan, melainkan juga termasuk pendidikan emosional dan juga pendidikan spiritualnya.
g)  Adapun fungsi ketujuh ekonomi yang diharapkan juga dapat mendorong keluarga agar dapat membina kualitas kehidupan ekonomi keluarga, sekaligus dapat bersikap realistis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga.
h)  Dan yang terakhir adalah fungsi lingkungan, di mana diharapkan keluarga dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan masyarakat sekitar dan alam.

2.      Timbulnya Cinta dan Jatuh Cinta
Hampir setiap pemuda (laki-laki atau wanita) mempunyai dua tujuan utama,pertama menemukan jenis pekerjaan yang sesuai dan, kedua menikah dan membangun sebuah rumah tangga (keluarga).Hal ini tidak selalu harus muncul dalam aturan tertentu,tetapi perlu dicatat bahwa seorang remaja akan mengalami  “jatuh cinta” di dalam masa kehidupanya setelah mencapai belasan belasan tahun (Garison, 1956: 483).Mulai saat itu laki-laki atau wanita telah berangan – angan untuk menemukan pasangan hidup yang ideal.Hal ini tentu saja merupakan tugas yang amat berat.Gejala perilaku setiap orang yang jatuh cinta tidak selalu sama dan mungkin seoarang remaja telah mulai mempelajari peran seksual lebih baik bila dibandingkan remaja lain, dan sebaliknya terdapat remaja yang belum mengetahui mengenai peran seksual yang sebenarnya.
Alasan atau faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami jatuh cinta bermacam-macam, antara lain adalah faktor kepribadian,faktor fisik,faktor budaya,latar belakang keluarga,dan faktor kemampuan.Seperti pertimbangan yang digunakan oleh orang jawa, dalam pemilihan pasangan hidup dilihat dari segi yaitu: “bibit” atau faktor ketu-runan,”bebet” atau faktor status sosial, dan “bobot” atau faktor ekonomi.
Para ahli ilmu jiwa sosial sependapat bahwa konsepsi yang menentukan saling tertariknya antara person relevan dengan upaya menciptakan dengan hubungan yang akrab (intim) dan hal itu berlangsung dalam kurun wktu yang relatif  panjang. Hal ini ditentukan pertimbangan biaya, dan hal yang berkaitan denga peranan masing-masing pihak dalam mengawali dan menjaga hubungan satu sama lain (Levinger – 1980, dalam Worchel dan Cooper, 1983: 279), Secord dan Bckman (1974) menyatakan bahwa menciptakan hubungan yang intim, dicapai melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap eksplorasi  menjajagi masalah-masalah yang berhubungan dengan pujian atau penghargaan  dan keuangan, (2) tahap penawaran, dimana pasangan itu menjalin berbagai janji. Tidak ada ketentuan formal dalam perjanjian ini ,tetapi yang muncul dan dianggap penting dalam hal ini adalah saling pengertiannya tentang latar belakang hubungan mereka, dan (3) tahap komitmen. Tahap komitmen ini di tandai oleh saling ketergantungan masing-masing. Disamping tiga tahap ini Backman mengajukan tahap keempat yang disebut tahap institusionalisasi yang ditandai kesepakatan-kesepakatan untuk hidup masa depan. Hal ini juga ditandai oleh pemahaman satu sama lain termasuk pemahaman pihak lain yng menyaksikan hubungan tersebut (dalam Worchel dan Cooper, 1983:279).Hasil penelitian belumembedakan antara berbagai macam pendekatan tentang bagaimana mengenal tahap-tahap itu,hampir semua teori menyepakati adanya perubahan tentang cara pasangan itu saling beraktifitas untuk meningkatkan keakraban hubungan mereka.
Teori lain telah pula mendiskusikan  adanya sedikit perbedaan pandangan tentang tahap-tahap yang ada dalam perkembangan keakraban hubungan antarremaja (Levinger ,1980). Dari diskusi dapat diidentifikasi perubahan-perubahan perilaku remaja dalam melakukan pergaulan dengan lawan jenis.Perubahan perubahan perilaku itu telah dikemukakan secara ringkas oleh Burgess dan Huston sebagai berikut :
1)      Mereka lebih sering berhubungan dalam periode waktu yang agak lama.
2)      Mereka mencapai pendekatan bila berpisah dan merasa ada peningkatan hubungan bila bertemu kembali.
3)      Mereka terbuka satu sama lain tentang perasaan yang mereka rahasiakan dan secara fisik menunjukan keakraban.
4)      Mereka menjadi lebih terbiasa dan saling berbagi perasaan suka dan duka.
5)      Mereka mengembangkan sistem komunikasi mereka sendiri, dan komunikasi itu meningkat lebih efisien.
6)      Mereka meningkatkan kemampuan masing-masing dalam merencanakan dan mengantisipasi kenyataan kehidupan dalam masyarakat nanti.
7)      Mereka menyinkronkan tujuan dan perilakunya, dan mengembangkan pola interaksi yang cenderung tetap.
8)      Mereka meningkatkan investasi mereka dalam hal hubungan dan memperluas lingkup kehidupan mereka yang penting.
9)      Mereka sedikit demi sedikit mulai merasakan bahwa interes mereka masing masing merupakan ikatan yang tak dapat dipisahkan demi kebaikan hubungan mereka.
10)  Mereka meningkatkan perasan saling menyenangi, mempercayai, dan mencintai demi kepentingan bersama.
11)  Mereka melihat hubungan tersebut sebagai yang tak tergeser, atau setidak-tidaknya sebagai suatu yang unik.
12)  Mereka semakin akrab satu sama lain sebagai sejoli dan bukan sebagai individu.


3.      Masyarakat dan Perkawinan
Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia selalu bersama manusia lainnya “”dalam pergaulan hidup dan kemudian bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga

  1. Pengertian Keluarga
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Ahmad A, (1997:69) mendefinisikan perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).
Perkawinan antara pria dan wanita bukan saja masalah yang didorong oleh faktor biologis, melainkan diatur oleh berbagai aturan atau norma yang berlaku di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
Di samping faktor fisik (biologis) dan psikologis, faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan calon pasangan hidup adalah kesamaan-kesamaan dalam hal ras, bangsa, agama, dan status sosial ekonomi.
Perkawinan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketentraman jiwa.          
Selain memiliki faedah yang besar, perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sesuai dengan rumusan itu, perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbutan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya. Sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

  1. Pengertian Kesejahteraan Keluarga
Dalam hal ini yang dimaksud kesejahteraan adalah kesejahteraan sosial. Dalam UU No. 6 tahun 1974 kesejahteraan sosial adalah “Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa.
Keselamatan kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia juga kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.
Keluarga merupakan kelompok golongan masyarakat yang kecil terdiri dari ayah(suami), ibu (istri) dan anak.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan keluarga adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spriritual di dalam suatu keluarga yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan keluarga tersebut untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah rohaniah dan sosial sebaik-baiknya.
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).




DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku & Artikel :
v     Ahmad. A. 1997. Psikologis Perkembangan. CV. Rineka Cipta. Jakarta
v     Anonim. 8 Maret 2011. BKKBN Garap Generasi Muda yang Memasuki Usia Nikah. Harian Pelita; Rubrik Kesra & Agama, hal.8
v     Anonim. 29 Juni 2011. Hari Ini Wapres Buka Peringatan Hari Keluarga. Harian Pelita; Rubrik Ekonomi & Keuangan, hal.12
v     Konopka. 1997. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah Mada. University Press. Yogyakarta
v     Sunarto dan Agung Hartono, 2006, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
v     Untung, Fario. 29 Juni 2011. Delapan Fungsi Keluarga Citakan Keluarga Ideal. Jakarta: Media Indonesia



0 komentar: