Senin, Oktober 28, 2013

Sekilas tentang "Berwirausaha dengan Hobi"

Horay! Akhirnya terbit juga!

Buku ini adalah eksperimen pertama saya sebagai co-writer. Tapi saya kerjakan dengan sepenuh hati, lo. Jadi saya jamin pasti tidak akan menyesal membaca kisah penuh inspirasi ini.

Bermula saat saya sedang ujian, tiba-tiba sebuah pesan fb masuk. Ternyata pesan Mbak Andar dari Penerbit Tiga Ananda. Beliau meminta saya menjadi co-writer seorang anak berprestasi yang berdomisili di daerah Tangerang.

Sebenarnya ini untuk kali kedua Mbak Andar menawari saya. Tapi, pada kesempatan pertama terpaksa saya lepas karena mendesaknya deadline serta waktu luang si anak yang hanya bisa wawancara saat weekdays saja. Sedangkan sehari-hari saya bekerja di kantor dan saat weekend pun saya kuliah. Kesimpulannya, belum berjodoh.

Tapi kali ini jadwal si anak fleksibel. Tanpa banyak pikir saya langsung terima tawaran Mbak Andar. Sebenarnya saya banyak merenung setelah menolak tawaran pertama. 


Kesannya kok saya seperti tidak serius menulis, sampai-sampai menolak sebuah peluang emas. Sungguh, kalau ditanya sampai saat ini pun saya masih menyesal. Akhirnya saya putuskan, jikalau ada lagi sebuah tawaran seperti itu, mau hari apa pun, pasti akan saya terima.


Singkatnya Mbak Andar mengirim beberapa file pdf mengenai konsep dan contoh penulisannya. Sempat terkejut karena contoh-contoh tersebut ternyata karya teman-teman yang sudah sangat saya kenal. Mereka adalah Uni Dian Iskandar dan Mbak Veronica Widiastuti. Wah, kejutan!

Setelahnya proses berjalan lancar. Walaupun sebelumnya tidak tahu daerah Tangerang, tapi ada teman saya yang bersedia mengantar. Jadi tidak tersesat, deh. Hehehe.

Keluarga Wibi sangat ramah. Menyenangkan bisa berada di tengah-tengah keluarga mereka. Senang pula berbicara mengenai otomotif dengan Pakde Bei (saya sendiri lulusan SMK Otomotif, jadi sedikit nyambung). Senang juga ngobrol ringan tentang pendidikan dengan Ibu Diana (selalu menyenangkan berbicara dengan praktisi, mengingat saya juga sedang belajar untuk menjadi seorang guru). Dan yang lebih menyenangkan lagi mengobrol dengan Wibi.


Walau pertama kesannya malu-malu tapi akhirnya kami bisa berbicara santai. Wibi beberapa kali memperlihatkan koleksinya kepada saya. Seberapa hebatnya prestasi dan usaha Wibi meraihnya bisa dibaca dalam buku ”Berwirausaha Dengan Hobi”. Dapatkan di toko-toko buku terdekat, ya. Pasti sangat mengisnpirasi. ^_^

Oh, ya. Saya di sini hanya membantu "merapikan" tulisan Wibi. Merangkainya hingga urut kejadian per kejadian. Jadi, secara keseluruhan ini adalah karya Wibi.

Happy reading. ^_^

Selasa, Oktober 08, 2013

Rincian Biaya ke Ciwidey

Ciwidey menawarkan banyak sekali lokasi pariwisata yang keren. Di antaranya:
  1. Situ Patengan, bisa naik bebek-bebekan sama perahu. Kalau bawa peralatan juga bisa kemping di sini.
  2. Kebun The Ranca Bali. Tempatnya bagus sekali, bagus buat foto-foto.
  3. Ranca Upas. Keren untuk kemah, lihat kebun stroberi, penangkaran rusa, juga outbond, dan pemandian air panas.
  4. Ke Kawah Putih. Tempat paling eksotik dengan kolam sulfur raksasanya.

Lalu berapa biaya untuk ke sana? Berikut rincian per orang.
  1. Dari Jakarta ke Bandung Rp. 40.000
  2. Dari Leuwi Panjang ke Terminal Ciwidey Rp. 10.000
  3. Dari Terminal Ciwidey ke Situ Patengang Rp. 10.000
  4. Biaya masuk ke Situ Patengang Rp. 6.000
  5. Dari Situ Patengang ke Ranca Upas Rp. 5.000
  6. Masuk Ranca Upas + izin Kemah Rp. 20.000
  7. Sewa tenda dome ukuran 3 orang Rp. 100.000/tenda. Dibagi 3 orang bulatkan jadi 35.000
  8. Beli kayu bakar, kalau ramai-ramai cukuplah satu orang satu ikat Rp. 15.000
  9. Masuk ke Kawah Putih Rp. 15.000
  10. Naik ontang-anting  Rp. 13.000
  11. Kembali ke Terminal Ciwidey Rp. 8.000
  12. Ke Leuwi Panjang Rp. 10.000
  13. Ke Jakarta Rp. 40.000

Total biaya per orang Rp. 227.000


Yang Tidak Terlupakan dalam Perjalanan ke Ciwidey

  1. Ditipu sopir bus. Dipaksa naik bus jurusan Jakarta-Garut dengan biaya Rp. 42.000/orang. Sudah begitu dioper pula di gerbang tol masuk Kota Bandung. Bayar lagi ke bus lain Rp. 5.000/ orang.
  2. Ketemu sopir angkot yang ngotot banget tawarin carteran.
  3. Panas dan pengapnya Colt L300 (Tapi di sini doang gw bisa tidur).
  4. Dinginnya Ranca Upas
  5. Lagit bertabur bintang ala planetarium di Ranca Upas.
  6. Malam di Ranca Upas terasa lama banget (Tanya jam mulu, kok gak pagi-pagi, yak?)
  7. Hangatnya api unggun menemani sampai pagi.
  8. Bukannya bakar jagung, ubi, atau ayam. Tapi malah bakar kaos-kaki sama sepatu karena basah. (Mana bisa dimakan!)
  9. Cuma makan di Ranca Upas makan mie rebus enggak usah ditiup.
  10. Semua serba dingin. Baju dingin, air dingin, badan dingin, roti dingin, nasi dingin, dan otak dingin.
  11. Semua serba stroberi (Buah, manisan, dodol, jus, sampai bantal bentuk stroberi)
  12. Indahnya kawah putih dan ekstremnya naik ontang-anting.
  13. Coki-coki butuh perjuangan ekstra untuk memakannya.

(Catatan Deshinta)




Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Empat ~Akhir)

Dari tempat perkemahan menuju gerbang Kawah Putih cukup dekat. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Jalanannya pun keren. Dengan kanan-kiri pepohonan yang rimbun serta banyak uap air menjadikannya semakin eksotis. Tak lupa sedikit foto-foto di jembatan yang kami lalui. 


            Sudahkah miripkah dengan setan OVJ yang muncul dilatari asap?
Juga di gerbang utama Kampung Cai Ranca Upas. Ternyata kami kemarin masuk ke Ranca Upas melalui jalan samping yang kecil dan menyeramkan. (Pantesan Fitriya takut).

Saat di depan gerbang Kawah Putih, ada angkot yang menawarkan untuk mengantar kami ke atas. Tentu saja kami menolak. Alasannya karena satu mobil saja bisa 100.000 ditambah biaya masuk, kalau jujur sih 15.000/orang. Belum lagi retribusi angkot itu naik seharga 65.000. Total kalau carter angkot untuk enam orang bisa 255.000

Coba bandingkan dengan memakai angkutan resmi Kawah Putih bernama Ontang-Anting dengan biaya masuk 28.000/orang (15.000 biaya masuk, dan 13.000 biaya Ontang-Anting). Kalau dijumlahkan sekitar 168.000
Jauh kan, bedanya?

Pertama naik Ontang-Anting masih bingung, kenapa namanya begitu? Dalam bayanganku Ontang-Anting itu mirip Kora-kora di Ancol. Ternyata cuma angkutan mobil carry biasa yang dimodifikasi bagian belakang terbuka kanan-kiri. Lalu di depan tempat duduk ada besi-besi sebagai tempat pegangan. Catatan, kalau mengajak anak kecil sebaiknya didudukkan di tengah saja. Supaya aman.
Di Kawah Putih tidak bisa lama-lama, karena di pagi hari bau sulfur sangat menyengat. Kami Cuma sekitar 15 sampai 20 menit saja di sana. Tak lupa berfoto-foto. Sayangnya, walau masih pagi, sinar matahari sangat terang di sini. Kamera handphone tak akan menolong banyak. Paling yang cukup bisa diandalkan kamera I-Phone milik Pur saja. Lainnya... gelap.

Tapi jangan khawatir. Di sana banyak mamang yang menawarkan foto langsung jadi. Murah kok, hanya 10.000 saja per lembar. Dan Fajri berbaik hati mau membayarkan foto bersama kami ini.

Walau terlihat panas, tapi suhu tetap dingin, lo. Iseng-iseng saya minta difoto di tengah pepohonan sama Mas Pur.

Tak lupa juga sebagai penutup kami berfoto di depan tulisan besar “Kawah Putih”. Biar afdol, pastinya. ^_^

Puas sudah kami di atas sini. Waktunya turun, tentu memakai Ontang-Anting lagi. Tenang saja, biaya 13.000 tadi sudah termasuk untuk turun ini.
Saat turun ini barulah kami tahu makna nama “ontang-anting”. Turun di jalan yang curam, berkelok, dengan kecepatan tinggi memang akan membuat siapa saja ter-ontang-anting kanan-kiri. Huwala. Lumayan spot jantung kalau lagi papasan mobil mau ke atas. Sudah begitu mamang supir tenang-tenang saja menyalip mobil di turunan. Aish!

Alhamdulillah, kami selamat sampai di bawah. Di gerbang, Hadi minta waktu untuk sarapan. Akhirnya kami makan bakwan malang yang mangkal di dekat situ.

Setelah kenyang, kita memutuskan pulang. Niat awalnya mau ke kampung stroberi sekalian lewat, tapi menurut informasi ibu-ibu penjual stroberi tadi, saat ini stroberi sedang kecil-kecil karena musim hujan. Hmm, gitu ya. Oke deh.
Kita pulang memakai angkot kuning sampai Terminal Ciwidey, lalu memakai ”oven” L300 sampai Leuwi Panjang. Tapi tidak separah berangkatnya. Kali ini mobil tersebut terasa cukup nyaman. Buktinya kami semua bisa tidur (atau karena kami terlalu capai setelah semalaman bergadang, ya?)
Sampai di Leuwi Panjang hal pertama yang kami cari adalah mesin ATM. Sebenarnya uang masih cukup di dompet untuk sekadar pulang ke Jakarta. Tetapi entah mengapa, pasti akan merasa nyaman kalau membawa uang lebih.

Di sini juga kami berenam berpisah. Fitriya naik bus yang langsung menuju Tangerang. Hadi naik jurusan Cibinong. Pur langsung menuju Pulo Gadung, dan sisanya yaitu Saya, Deshinta, dan Fajri menuju Kp. Rambutan. Perjalanan nekat kami berakhir dengan meninggalkan kesan mendalam. Terutama tentang suhu dingin di Ranca Upas itu.
Setelah sampai Jakarta, saya iseng googling suhu di Ranca Upas malam hari. Hasilnya mengejutkan, suhu di sana bisa mencapai 0°

Pantas saja coki-coki yang deshinta bawa enggak bisa dimakan karena beku.[]

Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Tiga)

Kampung Cai Ranca Upas! Hore, sampai!
Awal-awal turun dari angkot Fitriya sempat takut. Kita turunnya di jalanan kecil dengan pohon-pohon tinggi sehingga terlihat menyeramkan. Takutlah si kecil ini, dan mulai meminta untuk menginap di rumah warga saja.Tapi syukurlah, akhirnya dia berubah pikiran saat melihat banyak tenda, dan juga ada penjaga perkemahan. (yaiyalaah, namanya juga bumi perkemahan).
Masuk ke Ranca Upas kami dikenakan tarif 10.000/orang untuk berkunjung, dan 10.000 lagi untuk izin mendirikan. Saya dan Deshinta negosiasi mengenai tarif mendirikan tenda, maksudnya kalau lokasi kurang nyaman kami tidak jadi saja. Sempat juga kami tanya sewa tenda di tempat penjaga ini. Tarifnya tenda dome kapasitas 3 orang 150.000/tenda. Yang kapasitas 8 orang 300.000/tenda.
Hmm, pikir-pikir dulu, deh. Kami akhirnya mencari lokasi dulu, lalu bertanya mengenai sewa tenda di kantin-kantin dekat situ. Ternyata harga yang ditawarkan lebih murah. Untuk tenda kapasitas 3 orang dipatok 100.000/tenda, sedangkan yang 8 orang 200.000/tenda. Lumayan, selisihnya bisa untuk beli kayu bakar. (Kalau mau tawar lagi, mungkin dome kecil kapasitas 3 orang bisa disewa dengan harga 80.000/tenda). Bagi yang tidak bisa membangun tenda sendiri, tenang saja. Biaya ini termasuk pasang tenda kok.



Tenda sudah dibangun. Istirahat sebentar, lalu kami shalat maghrib. Kami sengaja memilih lokasi dekat dengan mushola supaya praktis kalau shalat. Maghrib ternyata hujan turun, tidak terlalu deras, tapi cukup basah sehingga kami hanya meringkuk di dalam tenda. Hmm, dingin mulai terasa.
Sekitar pukul 19.30 gerimis berhenti. Kami pun mulai membuat api unggun, lalu kami mulai makan bersama. Perut kenyang, kami berharap bisa tidur nyenyak dan mengembalikan tenaga untuk perjalanan esoknya.

Tapi ternyata kami tidak bisa tidur. Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Entah mengapa pagi enggan kembali (seperti lagu, hahaha). Saat dingin setengah mati itu Deshinta memanggil dari luar tenda, menawari teh panas. Saya kira sudah pagi, ya, kisaran pukul 03.00, ternyata begitu melihat jam tangan masih pukul 23.40

Astagaaa...
            Kami pun membeli teh panas (yang sama sekali tidak terasa panas) dan membeli lagi seikat kayu bakar untuk membuat api unggun. Setelah api unggun jadi, anak-anak yang tidur di dalam tenda langsung keluar mengelilingi.
Badan terasa sedikit hangat. Hanya Fajri yang masih tidur di tenda dengan suhu sedingin itu. Luar biasa memang wanita satu ini. ^_^
Fitriya setiap lima menit sekali menanyakan pukul berapa, dan harus kecewa karena belum juga beranjak pagi. Hadi terus mengusap hidungnya yang meler dan ingusan. Deshinta, Pur, dan saya sendiri hanya duduk dan mendekat ke api unggun. Dan Fajri masih tetap saja tidur.
Hadi berkata, ”Coba cek hidungnya, apa masih ada napasnya?”
Fitriya berkata, ” Jangan-jangan karena diselimuti bajuku.”
”Eh, memangnya kenapa?” tanyaku.
”Belum dicuci. Sudah dipakai dua hari juga, sih,” sahut Fitriya dengan wajah lugunya.
Tapi akhirnya Fajri bergabung dengan kita karena terus dipanggil-panggil oleh Deshinta. ”Welcome, Fajri. Selamat datang di malam panjang dan kita menghadapinya bersama!”


Setelah melewati malam dengan menambah lagi dua ikat kayu bakar, akhirnya azan subuh datang juga. Hmm, lewat sudah malam yang panjang ini. Perlahan suhu mulai menghangat, lalu kami ke mushola untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Pukul 07.00 pagi harinya, tanggal 6 Oktober 2013, kami sudah siap melanjutkan perjalanan ke kawah putih. Tujuan terakhir dari perjalanan ini. Selamat tinggal Ranca Upas, selamat tinggal Rusa, selamat tinggal abu api unggun. Sungguh berada di sini semalaman sangat mengesankan bagi kami yang biasa tinggal di Jakarta dengan suhu panasnya.



(bersambung ke bagian empat)

Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Dua)

Selesai shalat kami kembali ke terminal, dan supir tadi langsung menyuruh kami masuk mobil. Hmm, oke, oke. Kami menurut saja soalnya petugas terminal juga menunjukkan hanya ada mobil itu untuk ke atas. Akhirnya kami berenam, ditambah dua orang yang mau ke kawah putih berangkat.
Tapi lagi-lagi kami kecewa. Si sopir sempat berdebat bilang supaya kami ke kawah putih saja. “Arahnya berbeda, Jang. Lebih baik ke kawah putih saja.”
Kami keukeuh tetap mau ke Situ Patengang. Rencana kami kan sudah tersusun untuk dua hari nanti. Jadi harus ke Situ dulu, baru ke Kawah Putih esok harisnya setelah kemping di Ranca Upas.
Si supir akhirnya mengantar kami ke Situ Patengang. Tapi sebelum masuk gerbang si supir bilang tiket masuknya 15.000/orang ditambah ongkos 10.000/orang. Hmm, ada yang enggak beres nih. Dan benar saja, tiket masuk ke Situ Patengang ternyata Cuma 6.000/orang. Hello... kemana tuh yang 9.000? Hanya Tuhan yang tahu, deh.
Sebelum pergi si supir sempat menawarkan homestay, tapi kami terang-terang menolak. Dipikir saja, untuk tiket masuk saja sudah dikorupsi apalagi kalau homestay?  Lagipula kami mau kemping. Titik!


Di Situ Patengang kami makan siang (sebenarnya sudah agak sore). Hmm, suhu dingin mulai terasa. Di situ ini ada perahu dan juga sepeda air yang disewakan. Di tengah ada sebuah tempat (mirip pulau) katanya Batu Cinta. Mitosnya kalau muterin itu pakai perahu bakalan kekal abadi cintanya. Hahaha, mungkin cuma trik si mamang aja.
Terus terang saya tidak berminat. Bukan karena mitos itu, bukan karena uang juga. Alasannya kalau Adee-ku yang tidak ikut itu baca tulisan ini pasti bakalan pecah perang dunia. ^_^
Setelah berfoto-foto, kita melanjutkan perjalanan ke Ranca Upas. Kita jalan sebentar sembari menunggu angkot lewat. Sepanjang jalan di kanan-kiri terbentang perkebunan teh yang masuk area Ranca Bali. Perkebunannya keren dan cocok sekali untuk foto-foto. Tapi sayang, baru sebentar ada angkot lewat. Jadi kami langsung naik saja, khawatir tidak ada angkot lagi karena jarang sekali angkot sampai ke Situ Patengang ini.

Angkot yang kami naiki keren sekali. Kapasitas mobil yang seharusnya diisi maksimal 12/13 penumpang, diisi sampai 17 orang. Bisa dibayangkan bagaimana sempitnya kalau bagian samping sopir diisi empat penumpang. Tapi syukurlah, kami sampai di Ranca Upas dengan selamat.



(bersambung ke bagian tiga)

Senin, Oktober 07, 2013

Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Satu)

Ngebolang Dadakan!

Mungkin memang benar, ya, kalau perjalanan itu direncanakan jauh-jauh hari pasti bakalan gak jadi. Maka dari itu, perjalanan kali ini termasuk kategori “dadakan”.
Awalnya, hari Senin tanggal 30 September 2013 lalu, Deshinta mengajak saya pergi kemping. Tak tanggung-tanggung, kempingnya ke Ciwidey, tepatnya di Kampung Cai Ranca Upas. Hmm, melirik isi dompet yang “kritis” dan juga janji mau pergi ke Tidung minggu depannya membuat saya berpikir ulang untuk ikut. Tapi dengan penjelasan dari Deshinta berisi rincian biaya yang diberikan serta objek-objek wisata yang akan kami datangi, akhirnya membuat saya setuju juga.
Singkatnya, kami berenam (Saya, Deshinta, Pur, Hadi, Fitriya, serta Fajri) pun setuju untuk mengadakan perjalanan dan kemping di Ciwidey. Kami berkumpul di Kp. Rambutan pada pukul 07.10 (ngaret, tentu saja, karena janji kumpul pukul 06.30). Setelah berkumpul, kami pun berangkat memakai bus jurusan Jakarta – Garut. Dari awal terasa kurang enak saat naik bus ini. Kernet bus yang bilang sambil ngotot bahwa bus itu lewat Leuwi Panjang jelas-jelas bukan hal yang baik. Tapi akhirnya kami pun naik juga. Dan perasaan tidak enak kami benar. Keluar tol memasuki kota Bandung (kurang tahu daerah mana) kami dioper ke bus lain yang menuju Leuwi Panjang.

Oke, oke. Dioper tidak pernah menjadi masalah buat kami. Di Jakarta kami juga sering mengalaminya, tapi yang membuat kami marah itu karena kami harus membayar lagi di atas bus. Harusnya, kalau dioper begitu biaya sudah tidak ada lagi karena biasanya sang kernet bus pertama sudah negosiasi biayanya. Ini malah tidak! Alhasil kita hanya bisa mengutuk di atas bus saja.

Kami sampai di Leuwi Panjang sekitar pukul 11.30. Kami memutuskan langsung saja menuju ke Terminal Ciwidey dengan menggunakan L300 jurusan Bandung – Ciwidey. Biaya bisa dibilang sangat murah mengingat jauhnya perjalanan yang ditempuh. Cuma sayang satu kekurangannya, kita akan ditumpuk seperti ikan pepes kalau naik mobil ini. Hanya saran, apabila pergi ke Ciwidey ramai-ramai, lebih baik menyewa saja mobil ini.


Masjid yang Mengesankan

Akhirnya, setelah menembus macetnya jalan Kopo (pas banyak rombongan haji) kami sampai juga di Terminal Ciwidey. Hmm, begitu sampai langsung dicegat seorang supir angkot. Kami bilang saja mau ke Situ Patengan, namun kami mau shalat dulu. Si sopir menunjukan arah masjid kepada kami, tapi dia mewanti-wanti supaya nanti diantar olehnya waktu ke situ.

Di terminal ini suhu mulai dingin. Masjid yang kami singgahi tidak begitu besar. Namun suasana damai sangat terasa, mungkin karena bunyi gemericik air yang terus memancar itu penyebabnya. Dan hebatnya lagi, sajadah di sini harumnya luar biasa. 


Sangat jarang dijumpai masjid di terminal dengan sajadah seharum ini. Air wudhu terasa dingin menyejukkan di wajah, apalagi setelah berpanas-panasan ria di oven bernama L300 tadi. Oh, ya. Toilet di masjid ini juga termasuk bersih, mungkin karena dialiri air terus. Tapi recomended banget kalau ke Ciwidey mampir dulu untuk shalat di masjid ini.

(bersambung ke bagian dua)

Kamis, September 19, 2013

Namaku Tusino (Cerpen Kompas Anak)


Sambil menunggu buku saya terbit (InsyaAllah bulan depan), saya mau dokumentasi karya dulu. Ini adalah cerpen kedua yang dimuat di Kompas Anak. Sebelumnya ada cerpen anak berjudul "Lubuk Silangit", tapi tidak sempat terdokumentasi. Tapi, kan, yang penting honor masuk. Hahahaha....

Cerpen ini seperti judulnya, menceritakan tentang namaku yang ternyata begitu indah artinya. Nama kalian juga punya arti yang spesial, kan?

Senin, September 16, 2013

Cerpen Cinta Itu...



Ini tulisan pertama saya. Ikut Lomba Cipta Cerpen Gaul yang diadakan oleh tabloid Gaul. Alhamdulillah, jadi salah satu di antara 50 besar lalu menjadi Nominasi Pemenang. Walaupun cuma mentok sampai "Nominasi" tapi sudah bangga sekali. Memberikan kepercayaan diri berkali-kali lipat. Hehehe

Cerpen ini dimuat di tabloid Gaul edisi  24 Tahun IX 21-27 Juni 2010

Rabu, Juli 31, 2013

Bunga Kain Khayla; Sebuah Keadaan yang Tak Sempurna




Judul Buku       : Bunga Kain Khayla
Penulis             : Fina Faza
Penerbit           : Qibla imprint BIP
Cetakan           : I, 2013
Tebal               : 146 hlm
Harga              : Rp 28.000,00,-

Sebagai sebuah novel yang sudah digodok dalam sebuah kelas menulis, tentu kualitas isi novel anak itu tidak perlu diragukan lagi. Menariknya lagi, tema yang diangkat oleh Fina Faza, sang penulisnya, terbilang masih jarang. Tema tersebut ialah perceraian.

Novel anak Bunga Kain Khayla ini mencoba melukiskan kesedihan Khayla yang ditinggal sang ayah (dalam kasus ini perceraian). Khayla dan bundanya pindah ke solo, tempat eyang Khayla. Namun, di sinilah hati Khayla makin berkecamuk. Kerinduan kepada ayah, kecemasan akan sekolah barunya nanti, sampai Robi, anak tetangga yang selalu mengganggunya.

Walau tema perceraian biasanya menimbulkan masalah yang kompleks, namun Fina Faza berhasil “meringankannya” dengan memfokuskan cerita pada diri Khayla. Inilah menariknya dari novel ini. Ending-nya terbilang bagus dengan tidak memaksaan keadaan menjadi sempurna. Karena hidup memang terkadang tidak sesempurna seperti yang kita harapkan.

Nilai plus novel anak ini selain ending ciamik tadi ialah banyaknya pengetahuan yang bertebaran di dalamnya. Di antaranya ialah pengetahuan tentang alasan air di dalam gentong tanah lebih dingin dari air biasa sampai pengetahuan tentang sejarah Taman Balekambang yang pastinya menarik untuk kita ketahui. Beberapa potong bahasa Jawa pun menghiasi novel anak ini. Hebatnya, arti dari bahasa Jawa tersebut dibuat sedemikian rupa hingga terasa halus menyelip di dalam dialog tanpa harus membubuhkan catatan kaki.

Bila boleh menambahkan, seharusnya konflik Khayla dan Robi bisa lebih digali lagi dalam satu bab terpisah. Misal Robi selalu mengganggu Khayla karena ia sebenarnya iri karena Khayla tidak punya ayah. Tidak seperti dirinya yang punya ayah super-galak.

Sukses selalu untuk Fina Faza, saya nantikan novel-novel keren berikutnya.

Rabu, Mei 08, 2013

Apa Kata Mereka Tentang Fiam: Keluarga Hantu & Penghuni Baru?



Fiam, Keluarga Hantu dan Penghuni Baru
Kebahagiaan terbesar penulis ialah bila karya yang dihasilkan mampu menghibur para pembaca. Alhamdulillah, Fiam mendapat respon yang cukup baik dalam hal ini. Berikut beberapa kata-kata yang saya ambil dari inbox email dan komentar di FB.


"Sambil istirahat baca Fiam Tusino. Setengah jam selesai. How much you grow, Tusino. Keep up the good work!"

(Ary Nilandari, Penulis & Penerjemah)

***

"Dian baru aja bacain Fiam ke Billa, dia geli ngeliat hantu dan sekali2 meninggalkan dian yg lagi bacain tuh buku.
Gak mengira kalau Tusino bakalan keren balut cerita si hantu.
Awalnya, Dian masih bertanya2, cerita seperti apa yg bakal digusung Tusino.
Dan emang keren. Dian suka banget 2-3 paragraf di awal setiap bab. Kalau dibacakan ke anak2 (billa dlm hal ini) dia akan ikut mendengarkan. Kadang ikut menjawab pertanyaannya.
Seperti kalimat "adakah sebuah rumah yg terlihat kusam dan tdk terawat di kotamu?
Tau-tau si Billa bilang "nggak adaaaa!"
Ĥîĥî:$:$ĥîĥî
Selamat ya Tusino.
Saya sukaaaa sekali karakter Lifli... Ngakak saya baca kebawelannya."

(Dian Onasis, Penulis)

***

"Mas Tusino, bukunya bagus. Anak saya suka sekali, lucu katanya."

(Eri Mardiani, Karyawan Swasta)
***


Waaah! Seru! Lucu! Cerita hantu tapi lucu, ya Bu. Ada buku Kak Tus yang lain nggak bu?

(Tyo, Usia 12 Tahun)
 ***

Mas Tu Si Nooooo, makasih bukunya, ya? Asli, KEREN BANGET...!!! Ceritanya bagus, asyik dan mengalir lancar, ending juga oke. Pokoke, eksekusine maknyus dan gak "maksa" karena jumlah kata dibatasi. Buat temen2, yuk dibeli... Suer, gak bakal rugi + nyesel

(Bonita Irfanti, Penulis)
***

Fiam sudah bisa didapatkan di toko buku terdekat di kota Anda.
Bacaan ini ringan untuk anak-anak dengan ketebalan 64 halaman.
Harganya pun ringan untuk para orangtua, hanya Rp. 22.000,- saja.

Kamis, Mei 02, 2013

Cerita Hantu, Tidak Bolehkah Untuk Anak? (2)

Saya sempat down saat mendapatkan komplain tersebut. Cerita selengkapnya bisa dilihat di sini. 
Untunglah setelah saya berkonsultasi dengan seorang penulis dan praktisi penulisan bacaan anak, saya mendapatkan pencerahan.

Berikut jawaban beliau.
==================
Sekadar Prolog

Entah kapan terakhir aku menulis artikel untuk grup ini, mungkin waktu anggota masih 2000-an. Sekarang sudah 3000 lebih. Aku tidak lagi mengisi doc dan semakin jarang mengomentari Jumat Hangat, karena regenerasi dan estafet berjalan baik di sini. Dinamika kelompok terus terjaga karena ada semangat belajar dan rasa memiliki yang besar pada anggotanya. Semua anggota bebas menulis apa saja secara  santun dan bertanggung jawab, tugas moderator pun menjadi lebih ringan. Hehehe. Terbukti Tim Solid Moderator tetap bernama Tim13;  resminya sih tinggal ber-10, tapi secara ajaib selalu muncul tambahan tenaga yang lebih dari 3 di Forum ini, yang sangat efektif membantu kami dalam segala hal.
Siapakah mereka?
Salah satunya adalah Anda yang membaca catatan ini. Terima kasih.
Sekarang, aku menulis lagi karena tergelitik suatu perdebatan yang menarik, dan berharap ulasanku bermanfaat bagi kedua pihak.


I. FIKSI
1.              Semua juga tahu, bacaan fiksi adalah  kreasi hasil imajinasi penulis. Semua komponen fiksi: karakter, setting, plot, dialog, deskripsi, narasi, tidak pernah terjadi dalam kenyataan, meskipun memang ada yang berbasis kejadian nyata. Tetapi fiksi pada dasarnya adalah fiktif, khayalan, karangan, rekayasa.
2.                  Walaupun ada yang menganggap fiksi merupakan kebohongan dan tidak pantas dibaca, sebagian besar orang merasa fiksi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan manusia dari purbakala ke zaman modern tak lepas dari cerita-cerita, sehingga manusia membutuhkan banyak cerita untuk memahami diri dan lingkungannya. Dan kalau cerita harus selalu nyata, kasihan sekali manusia yang tak pernah mengetahui ending cerita nyata karena keterbatasan umur. Untuk itulah manusia dengan akal budinya berimajinasi menciptakan cerita dari awal sampai akhir. 
3.                  Dalam fiksi ada subgenre fantasi. Sebuah subgenre yang semakin menegaskan kemustahilan sebuah fiksi, karena di dalamnya ada unsur-unsur gaib, fantasi, seperti setting rekaan, makhluk ajaib, elemen supranatural, dll.
4.                  Bacaan fiksi memberikan stimulasi visual yang tidak sama dengan tontonan (film).Penulis dengan kata-kata menggambarkan sesuatu. Sesuatu ini niscaya akan divisualisasikan dalam benak secara berbeda-beda oleh pembaca yang berbeda karena setiap orang mempunyai pengalaman dan daya khayal berbeda. Sedangkan film adalah imajinasi kreator yang divisualisasikan secara mutlak dan kuat berkat teknologi, sehingga semua penonton menerima gambaran yang sama. Tidak ada ruang untuk imajinasi pribadi.      

II. PENULIS

1.                  Aku selalu percaya bahwa penulis bermoral tidak akan dengan sengaja menghasilkan karya amoral dengan maksud merusak moral pembaca.
2.                  Selalu ada pesan dari penulis dalam karyanya meskipun tidak berupa pesan moral eksplisit.
3.                  Bisa jadi penulis hanya ingin menghibur pembaca, karena beranggapan pembaca itu cerdas dan tidak lagi membutuhkan pendidikan darinya. Itu tugas orang lain.
4.                  Bisa jadi penulis sekadar ingin sharing pengalaman dan wawasan, jadi tidak berkepentingan dengan trend "mendidik" melalui bacaan.

III. ANAK

1.                  Bahkan sejak dini, anak menyukai cerita. Pada usia tertentu (kalau nggak salah, usia TK... cmiiw), anak sudah bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan.
2.                  Anak yang terbiasa mendengarkan/dibacakan cerita akan mempunyai kecerdasan menginterpretasi cerita. Memilah dan memilih mana yang akan diolahnya dalam benak. Semacam dalam transaksi, dia hanya "membeli" yang dia suka. Itu sebabnya ada bacaan yang sangat disukai, dan ada bacaan yang langsung mematikan selera mereka.
3.                  Daya khayal anak terbentuk dari berbagai macam stimulasi. Tentunya stimulasi terbaik adalah dari bacaan karena memberikan ruang gerak tak terbatas bagi anak sesuai dengan kecepatan perkembangannya sendiri. Daya khayal anak akan berkembang sejalan dengan usia, pengalaman, dan  interaksinya dengan orangtua/guru/teman/alam/dll.
4.                  Anak yang diberi kebebasan memilih dan menemukan berbagai macam bacaan biasanya menjadi anak yang kritis dan mandiri.

IV. KEAYAHBUNDAAN (parenting)

1.                  Sebagai orangtua, kita tidak mungkin menjadikan dunia ini steril bagi anak-anak. Yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah memberi mereka kekebalan dan kesiapan menghadapi keberagaman di luar.
2.                  Batasnya sangat tipis antara kontrol protektif dan pengekangan yang menghambat perkembangan (overprotective).
3.                  Orangtua bahkan bisa memanfaatkan sesuatu yang negatif untuk bahan pembelajaran positif.
4.                  Orangtua sering underestimate kecerdasan (kekuatan) anak sendiri.

Argumentasi 4x4 di atas aku sarikan dari berbagai sumber bacaan dan pengalaman:

1.                  Selama 17 tahun menjadi ibu tiga putra (usia 8, 12, 17) yang sekarang sangat suka membaca, menulis, dan berpikiran kritis dan terbuka.
2.                  Selama 12 tahun menjadi penerjemah buku-buku parenting (keayahbundaan).
3.                  Sejak kecil banyak didongengi dan membaca beragam cerita. Dari komik-komik murahan, seri silat Kho Ping Ho, dll. sampai bacaan-bacaan kontemporer luar dan dalam negeri.
4.                  Selama lebih dari 13 tahun menulis bacaan anak.  

Hehehe, 4 terakhir ini sekadar menunjukkan, aku dibesarkan dan dituakan dengan buku, bukan tontonan. Situasi yang jelas berbeda dengan anak-anak zaman sekarang yang mendapatkan beragam visualisasi-sudah-jadi dan serba canggih. Ini juga merupakan pengakuanku bahwa tantangan orangtua zaman sekarang jauh lebih besar ketimbang ayah-ibu kita dulu.

Tetapi aku juga ingin menanyakan, apakah kita perlu membuang energi untuk selalu ketakutan berlebihan dan merasa harus "melawan" buku tertentu, penulis tertentu, penerbit tertentu atau sebuah trend bacaan yang dibentuk pasar, padahal yang menjadi "masalah" sebetulnya adalah hal lain?

Yaitu pengetahuan dan cara pandang kita terhadap fiksi, penulis, anak, dan bagaimana mendidik anak.

(Jawab saja sendiri ya)

Salam kreatif,
Ary Nilandari
The One and Only Fairy Godmother in the Tim13
==============

Ya, itulah Bunda Ary Nilandari. Ahamdulillah saya pernah merasakan bimbingan beliau yang luar biasa.
Hem, kalau bertanya bagaimana komentarku sekarang mengenai komplain orang tersebut, jawabanku silakan kembali ke diri anda sendiri.
Yang jelas saya menulis kisah ini dengan maksud dan tujuan yang baik. Semoga hasilnya pun baik pula. Aamiin.

Oh, ya. Fiam sudah bisa didapatkan di toko buku terdekat di kotamu. Cuma Rp. 22.ooo saja. Hehehe....


Cerita Hantu, Tidak Bolehkah Untuk Anak? (1)



Saya rasa tidak ada masalah dalam pengerjaan Fiam. Bahkan hantu kecil teman kita ini selesai hanya dalam waktu semalam. Hehehe...
Tapi ternyata ujian berat buat saya baru datang saat saya memperkenalkan Fiam di Forum Penulis Bacaan Anak. Ada seorang ”beliau” yang komplain habis-habisan terhadap karya saya ini. Berikut ini saya kutip isi postingan beliau.

”Himbauan kepada para penulis or penerbit. Saya gusar dengan tema-tema hantu yang belakangan ini semarak. Baik dalam bentuk buku cerita (novel anak-teen) , juga cerita-cerita di majalah (terkenal pula). Apakah karena sekarang ini trend atau tidak, saya pikir, kita sebagai orang dewasa, berposisi sebagai orangtua, pendidik, pencerita, penulis dongeng, TOLONGLAH JANGAN MENGAJARKAN ANAK-ANAK SOAL HANTU. KITA BERTUHAN, APALAGI YANG MUSLIM. HANTU ITU TIDAK ADA DI DALAM AGAMA, KALAU JIN DAN SYETAN YA ADA. Jangan karena ego semata, karena ingin laris manis, ingin buku perdana terbit, tapi yang ditulis tentang hantu. Anak-anak sudah jelas akan tertarik. Tapi kan ironis. Mereka dididik salat, mengaji, disuruh ke mesjid, pengajian dll, tapi kalau dimedia tulis tertulis banyak soal ini, artinya semua orang berkontributor menjadi PERUSAK MORAL ANAK-ANAK BANGSA! Please, dipikirkan kembali. Tarik semua naskah yang merusak moral.”

Ah, sungguh ini sangat menohok saya. Bahkan terasa sangat sakit di hari. Sampai-sampai saya menangis. Padahal saya ini bukanlah seorang yang cengeng.
Ini karya pertama saya, dan ini tentang hantu.



Fiam; Keluarga Hantu dan Penghuni Baru & Cerita Satu Malam




Fiam saya ciptakan hanya dalam waktu semalam.

Secepat itu?

Sebenarnya tidak. Konsep cerita ini sudah ada sebelumnya. Bahkan sudah saya eksekusi setengah cerita. Setelah mendapatkan beberapa bab, saya baca ulang, ternyata tidak ada greget sama sekali.

Maka saya putuskan merombak habis. Saya tulis ulang. Menghapus beberapa bab yang sudah ditulis memang berat. Tapi saya berpikir, kalau saya saja sebagai penulis tidak puas, bagaimana dengan pembaca nanti?

Fiam merupakan bagian dari Workshop First Novel Jakarta yang diadakan Tiga Ananda (Lini penerbitan buku anak Tiga Serangkai).
Alhamdulillah, saya menjadi salah satu dari lima penulis yang karyanya lolos dan diterbitkan. Huraaay!

Berikut judul-judul First Novel yang lolos:

1. Angan-angan Muti, Si Pintar Berkacamata Tebal (Navita Kristi Astuti)

2. Pasukan Paspor (Sofie Dewayani)

3. Menari Bersama Hiu (Sri Wahyuti)

4. Fiam; Keluarga Hantu dan Penghuni Baru (Tu Si No)

5. Princess Badung (Veronica Widyastuti)


Ini karya pertama saya. Semoga setelah ini lahir karya-karya berikutnya. Aamiin.



Senin, April 15, 2013

[Review Buku] Gomawoyo, Chef!



Judul Buku : Gomawoyo, Chef!
Penulis : Dian Onasis
Penerbit : DAR Mizan


Kim Ji Mi tertegun melihat ibunya yang sedang menangis. Ah, rupanya Ibu baru saja dapat kabar bahwa kakek di desa tengah sakit. Duh, kakek sakit apa, ya?

Akhirnya Ibu memutuskan pulang ke desa untuk sementara waktu. Beliau ingin merawat kakek. Tentu Ji Mi turut serta.  Maka dimulailah kisah Kim Ji Mi di desa. Ia kerasan tinggal di desa yang sejuk dan rimbun oleh pohon pinus ini. Terlebih ada satu hal yang membuatnya semakin betah, yaitu kue dasik.

Tiap hari Kim Ji Mi membeli kue dasik di Toko Lee Dong Ae. Walaupun kue dasik beraneka warna, tapi ia lebih suka dasik yang berwarna kuning. Sesampainya si rumah, Ji Mi memamerkan kue dasik itu kepada kakek. Di luar dugaan, ternyata kakek sangat suka dengan kue tersebut. Karena memakan kue dasik tersebut, berangsur-angsur kakek Ji Mi kembali sehat.

Ah, Ji Mi jadi ingin bertemu dengan pembuatnya. Alangkah terkejutnya ia saat mengetahui yang membuat kue dasik super enak ini adalah seorang anak perempuan bermata jernih bernama Ae Cha.

Ji Mi pun berusaha berkenalan dengan anak tersebut. Dalam hati ia mempunyai niat agar Ae Cha bisa mengajari ibu Ji Mi membuat kue dasik. Namun hal tersebut tidak mudah karena kakek Ae Cha ternyata sangat galak. Lagipula Ae Cha menjual kue dasik tersebut secara diam-diam, tanpa sepengetahuan kakeknya.

Bagi adik-adik yang suka dengan hal-hal yang berbau korea, maka novel anak ini adalah pilihan yang tepat. Di samping kalian mendapatkan sebuah cerita yang bagus dan seru, kalian juga mendapatkan resep kue dasik di dalamnya.

Kalian bisa coba membuat kue dasik di rumah. Siapa tahu dasik yang kalian buat juga bisa menyembuhkan orang seperti buatan Ae Cha.

"Tak ada resep khusus untuk kue dasikku. Hanya butuh serbuk dari pohon cinta kasih." --Ae Cha. Gomawoyo, Chef!


Rated: 4/5