Senin, Oktober 28, 2013

Sekilas tentang "Berwirausaha dengan Hobi"

Horay! Akhirnya terbit juga!

Buku ini adalah eksperimen pertama saya sebagai co-writer. Tapi saya kerjakan dengan sepenuh hati, lo. Jadi saya jamin pasti tidak akan menyesal membaca kisah penuh inspirasi ini.

Bermula saat saya sedang ujian, tiba-tiba sebuah pesan fb masuk. Ternyata pesan Mbak Andar dari Penerbit Tiga Ananda. Beliau meminta saya menjadi co-writer seorang anak berprestasi yang berdomisili di daerah Tangerang.

Sebenarnya ini untuk kali kedua Mbak Andar menawari saya. Tapi, pada kesempatan pertama terpaksa saya lepas karena mendesaknya deadline serta waktu luang si anak yang hanya bisa wawancara saat weekdays saja. Sedangkan sehari-hari saya bekerja di kantor dan saat weekend pun saya kuliah. Kesimpulannya, belum berjodoh.

Tapi kali ini jadwal si anak fleksibel. Tanpa banyak pikir saya langsung terima tawaran Mbak Andar. Sebenarnya saya banyak merenung setelah menolak tawaran pertama. 


Kesannya kok saya seperti tidak serius menulis, sampai-sampai menolak sebuah peluang emas. Sungguh, kalau ditanya sampai saat ini pun saya masih menyesal. Akhirnya saya putuskan, jikalau ada lagi sebuah tawaran seperti itu, mau hari apa pun, pasti akan saya terima.


Singkatnya Mbak Andar mengirim beberapa file pdf mengenai konsep dan contoh penulisannya. Sempat terkejut karena contoh-contoh tersebut ternyata karya teman-teman yang sudah sangat saya kenal. Mereka adalah Uni Dian Iskandar dan Mbak Veronica Widiastuti. Wah, kejutan!

Setelahnya proses berjalan lancar. Walaupun sebelumnya tidak tahu daerah Tangerang, tapi ada teman saya yang bersedia mengantar. Jadi tidak tersesat, deh. Hehehe.

Keluarga Wibi sangat ramah. Menyenangkan bisa berada di tengah-tengah keluarga mereka. Senang pula berbicara mengenai otomotif dengan Pakde Bei (saya sendiri lulusan SMK Otomotif, jadi sedikit nyambung). Senang juga ngobrol ringan tentang pendidikan dengan Ibu Diana (selalu menyenangkan berbicara dengan praktisi, mengingat saya juga sedang belajar untuk menjadi seorang guru). Dan yang lebih menyenangkan lagi mengobrol dengan Wibi.


Walau pertama kesannya malu-malu tapi akhirnya kami bisa berbicara santai. Wibi beberapa kali memperlihatkan koleksinya kepada saya. Seberapa hebatnya prestasi dan usaha Wibi meraihnya bisa dibaca dalam buku ”Berwirausaha Dengan Hobi”. Dapatkan di toko-toko buku terdekat, ya. Pasti sangat mengisnpirasi. ^_^

Oh, ya. Saya di sini hanya membantu "merapikan" tulisan Wibi. Merangkainya hingga urut kejadian per kejadian. Jadi, secara keseluruhan ini adalah karya Wibi.

Happy reading. ^_^

Selasa, Oktober 08, 2013

Rincian Biaya ke Ciwidey

Ciwidey menawarkan banyak sekali lokasi pariwisata yang keren. Di antaranya:
  1. Situ Patengan, bisa naik bebek-bebekan sama perahu. Kalau bawa peralatan juga bisa kemping di sini.
  2. Kebun The Ranca Bali. Tempatnya bagus sekali, bagus buat foto-foto.
  3. Ranca Upas. Keren untuk kemah, lihat kebun stroberi, penangkaran rusa, juga outbond, dan pemandian air panas.
  4. Ke Kawah Putih. Tempat paling eksotik dengan kolam sulfur raksasanya.

Lalu berapa biaya untuk ke sana? Berikut rincian per orang.
  1. Dari Jakarta ke Bandung Rp. 40.000
  2. Dari Leuwi Panjang ke Terminal Ciwidey Rp. 10.000
  3. Dari Terminal Ciwidey ke Situ Patengang Rp. 10.000
  4. Biaya masuk ke Situ Patengang Rp. 6.000
  5. Dari Situ Patengang ke Ranca Upas Rp. 5.000
  6. Masuk Ranca Upas + izin Kemah Rp. 20.000
  7. Sewa tenda dome ukuran 3 orang Rp. 100.000/tenda. Dibagi 3 orang bulatkan jadi 35.000
  8. Beli kayu bakar, kalau ramai-ramai cukuplah satu orang satu ikat Rp. 15.000
  9. Masuk ke Kawah Putih Rp. 15.000
  10. Naik ontang-anting  Rp. 13.000
  11. Kembali ke Terminal Ciwidey Rp. 8.000
  12. Ke Leuwi Panjang Rp. 10.000
  13. Ke Jakarta Rp. 40.000

Total biaya per orang Rp. 227.000


Yang Tidak Terlupakan dalam Perjalanan ke Ciwidey

  1. Ditipu sopir bus. Dipaksa naik bus jurusan Jakarta-Garut dengan biaya Rp. 42.000/orang. Sudah begitu dioper pula di gerbang tol masuk Kota Bandung. Bayar lagi ke bus lain Rp. 5.000/ orang.
  2. Ketemu sopir angkot yang ngotot banget tawarin carteran.
  3. Panas dan pengapnya Colt L300 (Tapi di sini doang gw bisa tidur).
  4. Dinginnya Ranca Upas
  5. Lagit bertabur bintang ala planetarium di Ranca Upas.
  6. Malam di Ranca Upas terasa lama banget (Tanya jam mulu, kok gak pagi-pagi, yak?)
  7. Hangatnya api unggun menemani sampai pagi.
  8. Bukannya bakar jagung, ubi, atau ayam. Tapi malah bakar kaos-kaki sama sepatu karena basah. (Mana bisa dimakan!)
  9. Cuma makan di Ranca Upas makan mie rebus enggak usah ditiup.
  10. Semua serba dingin. Baju dingin, air dingin, badan dingin, roti dingin, nasi dingin, dan otak dingin.
  11. Semua serba stroberi (Buah, manisan, dodol, jus, sampai bantal bentuk stroberi)
  12. Indahnya kawah putih dan ekstremnya naik ontang-anting.
  13. Coki-coki butuh perjuangan ekstra untuk memakannya.

(Catatan Deshinta)




Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Empat ~Akhir)

Dari tempat perkemahan menuju gerbang Kawah Putih cukup dekat. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Jalanannya pun keren. Dengan kanan-kiri pepohonan yang rimbun serta banyak uap air menjadikannya semakin eksotis. Tak lupa sedikit foto-foto di jembatan yang kami lalui. 


            Sudahkah miripkah dengan setan OVJ yang muncul dilatari asap?
Juga di gerbang utama Kampung Cai Ranca Upas. Ternyata kami kemarin masuk ke Ranca Upas melalui jalan samping yang kecil dan menyeramkan. (Pantesan Fitriya takut).

Saat di depan gerbang Kawah Putih, ada angkot yang menawarkan untuk mengantar kami ke atas. Tentu saja kami menolak. Alasannya karena satu mobil saja bisa 100.000 ditambah biaya masuk, kalau jujur sih 15.000/orang. Belum lagi retribusi angkot itu naik seharga 65.000. Total kalau carter angkot untuk enam orang bisa 255.000

Coba bandingkan dengan memakai angkutan resmi Kawah Putih bernama Ontang-Anting dengan biaya masuk 28.000/orang (15.000 biaya masuk, dan 13.000 biaya Ontang-Anting). Kalau dijumlahkan sekitar 168.000
Jauh kan, bedanya?

Pertama naik Ontang-Anting masih bingung, kenapa namanya begitu? Dalam bayanganku Ontang-Anting itu mirip Kora-kora di Ancol. Ternyata cuma angkutan mobil carry biasa yang dimodifikasi bagian belakang terbuka kanan-kiri. Lalu di depan tempat duduk ada besi-besi sebagai tempat pegangan. Catatan, kalau mengajak anak kecil sebaiknya didudukkan di tengah saja. Supaya aman.
Di Kawah Putih tidak bisa lama-lama, karena di pagi hari bau sulfur sangat menyengat. Kami Cuma sekitar 15 sampai 20 menit saja di sana. Tak lupa berfoto-foto. Sayangnya, walau masih pagi, sinar matahari sangat terang di sini. Kamera handphone tak akan menolong banyak. Paling yang cukup bisa diandalkan kamera I-Phone milik Pur saja. Lainnya... gelap.

Tapi jangan khawatir. Di sana banyak mamang yang menawarkan foto langsung jadi. Murah kok, hanya 10.000 saja per lembar. Dan Fajri berbaik hati mau membayarkan foto bersama kami ini.

Walau terlihat panas, tapi suhu tetap dingin, lo. Iseng-iseng saya minta difoto di tengah pepohonan sama Mas Pur.

Tak lupa juga sebagai penutup kami berfoto di depan tulisan besar “Kawah Putih”. Biar afdol, pastinya. ^_^

Puas sudah kami di atas sini. Waktunya turun, tentu memakai Ontang-Anting lagi. Tenang saja, biaya 13.000 tadi sudah termasuk untuk turun ini.
Saat turun ini barulah kami tahu makna nama “ontang-anting”. Turun di jalan yang curam, berkelok, dengan kecepatan tinggi memang akan membuat siapa saja ter-ontang-anting kanan-kiri. Huwala. Lumayan spot jantung kalau lagi papasan mobil mau ke atas. Sudah begitu mamang supir tenang-tenang saja menyalip mobil di turunan. Aish!

Alhamdulillah, kami selamat sampai di bawah. Di gerbang, Hadi minta waktu untuk sarapan. Akhirnya kami makan bakwan malang yang mangkal di dekat situ.

Setelah kenyang, kita memutuskan pulang. Niat awalnya mau ke kampung stroberi sekalian lewat, tapi menurut informasi ibu-ibu penjual stroberi tadi, saat ini stroberi sedang kecil-kecil karena musim hujan. Hmm, gitu ya. Oke deh.
Kita pulang memakai angkot kuning sampai Terminal Ciwidey, lalu memakai ”oven” L300 sampai Leuwi Panjang. Tapi tidak separah berangkatnya. Kali ini mobil tersebut terasa cukup nyaman. Buktinya kami semua bisa tidur (atau karena kami terlalu capai setelah semalaman bergadang, ya?)
Sampai di Leuwi Panjang hal pertama yang kami cari adalah mesin ATM. Sebenarnya uang masih cukup di dompet untuk sekadar pulang ke Jakarta. Tetapi entah mengapa, pasti akan merasa nyaman kalau membawa uang lebih.

Di sini juga kami berenam berpisah. Fitriya naik bus yang langsung menuju Tangerang. Hadi naik jurusan Cibinong. Pur langsung menuju Pulo Gadung, dan sisanya yaitu Saya, Deshinta, dan Fajri menuju Kp. Rambutan. Perjalanan nekat kami berakhir dengan meninggalkan kesan mendalam. Terutama tentang suhu dingin di Ranca Upas itu.
Setelah sampai Jakarta, saya iseng googling suhu di Ranca Upas malam hari. Hasilnya mengejutkan, suhu di sana bisa mencapai 0°

Pantas saja coki-coki yang deshinta bawa enggak bisa dimakan karena beku.[]

Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Tiga)

Kampung Cai Ranca Upas! Hore, sampai!
Awal-awal turun dari angkot Fitriya sempat takut. Kita turunnya di jalanan kecil dengan pohon-pohon tinggi sehingga terlihat menyeramkan. Takutlah si kecil ini, dan mulai meminta untuk menginap di rumah warga saja.Tapi syukurlah, akhirnya dia berubah pikiran saat melihat banyak tenda, dan juga ada penjaga perkemahan. (yaiyalaah, namanya juga bumi perkemahan).
Masuk ke Ranca Upas kami dikenakan tarif 10.000/orang untuk berkunjung, dan 10.000 lagi untuk izin mendirikan. Saya dan Deshinta negosiasi mengenai tarif mendirikan tenda, maksudnya kalau lokasi kurang nyaman kami tidak jadi saja. Sempat juga kami tanya sewa tenda di tempat penjaga ini. Tarifnya tenda dome kapasitas 3 orang 150.000/tenda. Yang kapasitas 8 orang 300.000/tenda.
Hmm, pikir-pikir dulu, deh. Kami akhirnya mencari lokasi dulu, lalu bertanya mengenai sewa tenda di kantin-kantin dekat situ. Ternyata harga yang ditawarkan lebih murah. Untuk tenda kapasitas 3 orang dipatok 100.000/tenda, sedangkan yang 8 orang 200.000/tenda. Lumayan, selisihnya bisa untuk beli kayu bakar. (Kalau mau tawar lagi, mungkin dome kecil kapasitas 3 orang bisa disewa dengan harga 80.000/tenda). Bagi yang tidak bisa membangun tenda sendiri, tenang saja. Biaya ini termasuk pasang tenda kok.



Tenda sudah dibangun. Istirahat sebentar, lalu kami shalat maghrib. Kami sengaja memilih lokasi dekat dengan mushola supaya praktis kalau shalat. Maghrib ternyata hujan turun, tidak terlalu deras, tapi cukup basah sehingga kami hanya meringkuk di dalam tenda. Hmm, dingin mulai terasa.
Sekitar pukul 19.30 gerimis berhenti. Kami pun mulai membuat api unggun, lalu kami mulai makan bersama. Perut kenyang, kami berharap bisa tidur nyenyak dan mengembalikan tenaga untuk perjalanan esoknya.

Tapi ternyata kami tidak bisa tidur. Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Entah mengapa pagi enggan kembali (seperti lagu, hahaha). Saat dingin setengah mati itu Deshinta memanggil dari luar tenda, menawari teh panas. Saya kira sudah pagi, ya, kisaran pukul 03.00, ternyata begitu melihat jam tangan masih pukul 23.40

Astagaaa...
            Kami pun membeli teh panas (yang sama sekali tidak terasa panas) dan membeli lagi seikat kayu bakar untuk membuat api unggun. Setelah api unggun jadi, anak-anak yang tidur di dalam tenda langsung keluar mengelilingi.
Badan terasa sedikit hangat. Hanya Fajri yang masih tidur di tenda dengan suhu sedingin itu. Luar biasa memang wanita satu ini. ^_^
Fitriya setiap lima menit sekali menanyakan pukul berapa, dan harus kecewa karena belum juga beranjak pagi. Hadi terus mengusap hidungnya yang meler dan ingusan. Deshinta, Pur, dan saya sendiri hanya duduk dan mendekat ke api unggun. Dan Fajri masih tetap saja tidur.
Hadi berkata, ”Coba cek hidungnya, apa masih ada napasnya?”
Fitriya berkata, ” Jangan-jangan karena diselimuti bajuku.”
”Eh, memangnya kenapa?” tanyaku.
”Belum dicuci. Sudah dipakai dua hari juga, sih,” sahut Fitriya dengan wajah lugunya.
Tapi akhirnya Fajri bergabung dengan kita karena terus dipanggil-panggil oleh Deshinta. ”Welcome, Fajri. Selamat datang di malam panjang dan kita menghadapinya bersama!”


Setelah melewati malam dengan menambah lagi dua ikat kayu bakar, akhirnya azan subuh datang juga. Hmm, lewat sudah malam yang panjang ini. Perlahan suhu mulai menghangat, lalu kami ke mushola untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Pukul 07.00 pagi harinya, tanggal 6 Oktober 2013, kami sudah siap melanjutkan perjalanan ke kawah putih. Tujuan terakhir dari perjalanan ini. Selamat tinggal Ranca Upas, selamat tinggal Rusa, selamat tinggal abu api unggun. Sungguh berada di sini semalaman sangat mengesankan bagi kami yang biasa tinggal di Jakarta dengan suhu panasnya.



(bersambung ke bagian empat)

Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Dua)

Selesai shalat kami kembali ke terminal, dan supir tadi langsung menyuruh kami masuk mobil. Hmm, oke, oke. Kami menurut saja soalnya petugas terminal juga menunjukkan hanya ada mobil itu untuk ke atas. Akhirnya kami berenam, ditambah dua orang yang mau ke kawah putih berangkat.
Tapi lagi-lagi kami kecewa. Si sopir sempat berdebat bilang supaya kami ke kawah putih saja. “Arahnya berbeda, Jang. Lebih baik ke kawah putih saja.”
Kami keukeuh tetap mau ke Situ Patengang. Rencana kami kan sudah tersusun untuk dua hari nanti. Jadi harus ke Situ dulu, baru ke Kawah Putih esok harisnya setelah kemping di Ranca Upas.
Si supir akhirnya mengantar kami ke Situ Patengang. Tapi sebelum masuk gerbang si supir bilang tiket masuknya 15.000/orang ditambah ongkos 10.000/orang. Hmm, ada yang enggak beres nih. Dan benar saja, tiket masuk ke Situ Patengang ternyata Cuma 6.000/orang. Hello... kemana tuh yang 9.000? Hanya Tuhan yang tahu, deh.
Sebelum pergi si supir sempat menawarkan homestay, tapi kami terang-terang menolak. Dipikir saja, untuk tiket masuk saja sudah dikorupsi apalagi kalau homestay?  Lagipula kami mau kemping. Titik!


Di Situ Patengang kami makan siang (sebenarnya sudah agak sore). Hmm, suhu dingin mulai terasa. Di situ ini ada perahu dan juga sepeda air yang disewakan. Di tengah ada sebuah tempat (mirip pulau) katanya Batu Cinta. Mitosnya kalau muterin itu pakai perahu bakalan kekal abadi cintanya. Hahaha, mungkin cuma trik si mamang aja.
Terus terang saya tidak berminat. Bukan karena mitos itu, bukan karena uang juga. Alasannya kalau Adee-ku yang tidak ikut itu baca tulisan ini pasti bakalan pecah perang dunia. ^_^
Setelah berfoto-foto, kita melanjutkan perjalanan ke Ranca Upas. Kita jalan sebentar sembari menunggu angkot lewat. Sepanjang jalan di kanan-kiri terbentang perkebunan teh yang masuk area Ranca Bali. Perkebunannya keren dan cocok sekali untuk foto-foto. Tapi sayang, baru sebentar ada angkot lewat. Jadi kami langsung naik saja, khawatir tidak ada angkot lagi karena jarang sekali angkot sampai ke Situ Patengang ini.

Angkot yang kami naiki keren sekali. Kapasitas mobil yang seharusnya diisi maksimal 12/13 penumpang, diisi sampai 17 orang. Bisa dibayangkan bagaimana sempitnya kalau bagian samping sopir diisi empat penumpang. Tapi syukurlah, kami sampai di Ranca Upas dengan selamat.



(bersambung ke bagian tiga)

Senin, Oktober 07, 2013

Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Satu)

Ngebolang Dadakan!

Mungkin memang benar, ya, kalau perjalanan itu direncanakan jauh-jauh hari pasti bakalan gak jadi. Maka dari itu, perjalanan kali ini termasuk kategori “dadakan”.
Awalnya, hari Senin tanggal 30 September 2013 lalu, Deshinta mengajak saya pergi kemping. Tak tanggung-tanggung, kempingnya ke Ciwidey, tepatnya di Kampung Cai Ranca Upas. Hmm, melirik isi dompet yang “kritis” dan juga janji mau pergi ke Tidung minggu depannya membuat saya berpikir ulang untuk ikut. Tapi dengan penjelasan dari Deshinta berisi rincian biaya yang diberikan serta objek-objek wisata yang akan kami datangi, akhirnya membuat saya setuju juga.
Singkatnya, kami berenam (Saya, Deshinta, Pur, Hadi, Fitriya, serta Fajri) pun setuju untuk mengadakan perjalanan dan kemping di Ciwidey. Kami berkumpul di Kp. Rambutan pada pukul 07.10 (ngaret, tentu saja, karena janji kumpul pukul 06.30). Setelah berkumpul, kami pun berangkat memakai bus jurusan Jakarta – Garut. Dari awal terasa kurang enak saat naik bus ini. Kernet bus yang bilang sambil ngotot bahwa bus itu lewat Leuwi Panjang jelas-jelas bukan hal yang baik. Tapi akhirnya kami pun naik juga. Dan perasaan tidak enak kami benar. Keluar tol memasuki kota Bandung (kurang tahu daerah mana) kami dioper ke bus lain yang menuju Leuwi Panjang.

Oke, oke. Dioper tidak pernah menjadi masalah buat kami. Di Jakarta kami juga sering mengalaminya, tapi yang membuat kami marah itu karena kami harus membayar lagi di atas bus. Harusnya, kalau dioper begitu biaya sudah tidak ada lagi karena biasanya sang kernet bus pertama sudah negosiasi biayanya. Ini malah tidak! Alhasil kita hanya bisa mengutuk di atas bus saja.

Kami sampai di Leuwi Panjang sekitar pukul 11.30. Kami memutuskan langsung saja menuju ke Terminal Ciwidey dengan menggunakan L300 jurusan Bandung – Ciwidey. Biaya bisa dibilang sangat murah mengingat jauhnya perjalanan yang ditempuh. Cuma sayang satu kekurangannya, kita akan ditumpuk seperti ikan pepes kalau naik mobil ini. Hanya saran, apabila pergi ke Ciwidey ramai-ramai, lebih baik menyewa saja mobil ini.


Masjid yang Mengesankan

Akhirnya, setelah menembus macetnya jalan Kopo (pas banyak rombongan haji) kami sampai juga di Terminal Ciwidey. Hmm, begitu sampai langsung dicegat seorang supir angkot. Kami bilang saja mau ke Situ Patengan, namun kami mau shalat dulu. Si sopir menunjukan arah masjid kepada kami, tapi dia mewanti-wanti supaya nanti diantar olehnya waktu ke situ.

Di terminal ini suhu mulai dingin. Masjid yang kami singgahi tidak begitu besar. Namun suasana damai sangat terasa, mungkin karena bunyi gemericik air yang terus memancar itu penyebabnya. Dan hebatnya lagi, sajadah di sini harumnya luar biasa. 


Sangat jarang dijumpai masjid di terminal dengan sajadah seharum ini. Air wudhu terasa dingin menyejukkan di wajah, apalagi setelah berpanas-panasan ria di oven bernama L300 tadi. Oh, ya. Toilet di masjid ini juga termasuk bersih, mungkin karena dialiri air terus. Tapi recomended banget kalau ke Ciwidey mampir dulu untuk shalat di masjid ini.

(bersambung ke bagian dua)