Selasa, Oktober 08, 2013

Ciwidey, Perjalanan Menuju Suhu Beku (Tiga)

Kampung Cai Ranca Upas! Hore, sampai!
Awal-awal turun dari angkot Fitriya sempat takut. Kita turunnya di jalanan kecil dengan pohon-pohon tinggi sehingga terlihat menyeramkan. Takutlah si kecil ini, dan mulai meminta untuk menginap di rumah warga saja.Tapi syukurlah, akhirnya dia berubah pikiran saat melihat banyak tenda, dan juga ada penjaga perkemahan. (yaiyalaah, namanya juga bumi perkemahan).
Masuk ke Ranca Upas kami dikenakan tarif 10.000/orang untuk berkunjung, dan 10.000 lagi untuk izin mendirikan. Saya dan Deshinta negosiasi mengenai tarif mendirikan tenda, maksudnya kalau lokasi kurang nyaman kami tidak jadi saja. Sempat juga kami tanya sewa tenda di tempat penjaga ini. Tarifnya tenda dome kapasitas 3 orang 150.000/tenda. Yang kapasitas 8 orang 300.000/tenda.
Hmm, pikir-pikir dulu, deh. Kami akhirnya mencari lokasi dulu, lalu bertanya mengenai sewa tenda di kantin-kantin dekat situ. Ternyata harga yang ditawarkan lebih murah. Untuk tenda kapasitas 3 orang dipatok 100.000/tenda, sedangkan yang 8 orang 200.000/tenda. Lumayan, selisihnya bisa untuk beli kayu bakar. (Kalau mau tawar lagi, mungkin dome kecil kapasitas 3 orang bisa disewa dengan harga 80.000/tenda). Bagi yang tidak bisa membangun tenda sendiri, tenang saja. Biaya ini termasuk pasang tenda kok.



Tenda sudah dibangun. Istirahat sebentar, lalu kami shalat maghrib. Kami sengaja memilih lokasi dekat dengan mushola supaya praktis kalau shalat. Maghrib ternyata hujan turun, tidak terlalu deras, tapi cukup basah sehingga kami hanya meringkuk di dalam tenda. Hmm, dingin mulai terasa.
Sekitar pukul 19.30 gerimis berhenti. Kami pun mulai membuat api unggun, lalu kami mulai makan bersama. Perut kenyang, kami berharap bisa tidur nyenyak dan mengembalikan tenaga untuk perjalanan esoknya.

Tapi ternyata kami tidak bisa tidur. Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Entah mengapa pagi enggan kembali (seperti lagu, hahaha). Saat dingin setengah mati itu Deshinta memanggil dari luar tenda, menawari teh panas. Saya kira sudah pagi, ya, kisaran pukul 03.00, ternyata begitu melihat jam tangan masih pukul 23.40

Astagaaa...
            Kami pun membeli teh panas (yang sama sekali tidak terasa panas) dan membeli lagi seikat kayu bakar untuk membuat api unggun. Setelah api unggun jadi, anak-anak yang tidur di dalam tenda langsung keluar mengelilingi.
Badan terasa sedikit hangat. Hanya Fajri yang masih tidur di tenda dengan suhu sedingin itu. Luar biasa memang wanita satu ini. ^_^
Fitriya setiap lima menit sekali menanyakan pukul berapa, dan harus kecewa karena belum juga beranjak pagi. Hadi terus mengusap hidungnya yang meler dan ingusan. Deshinta, Pur, dan saya sendiri hanya duduk dan mendekat ke api unggun. Dan Fajri masih tetap saja tidur.
Hadi berkata, ”Coba cek hidungnya, apa masih ada napasnya?”
Fitriya berkata, ” Jangan-jangan karena diselimuti bajuku.”
”Eh, memangnya kenapa?” tanyaku.
”Belum dicuci. Sudah dipakai dua hari juga, sih,” sahut Fitriya dengan wajah lugunya.
Tapi akhirnya Fajri bergabung dengan kita karena terus dipanggil-panggil oleh Deshinta. ”Welcome, Fajri. Selamat datang di malam panjang dan kita menghadapinya bersama!”


Setelah melewati malam dengan menambah lagi dua ikat kayu bakar, akhirnya azan subuh datang juga. Hmm, lewat sudah malam yang panjang ini. Perlahan suhu mulai menghangat, lalu kami ke mushola untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Pukul 07.00 pagi harinya, tanggal 6 Oktober 2013, kami sudah siap melanjutkan perjalanan ke kawah putih. Tujuan terakhir dari perjalanan ini. Selamat tinggal Ranca Upas, selamat tinggal Rusa, selamat tinggal abu api unggun. Sungguh berada di sini semalaman sangat mengesankan bagi kami yang biasa tinggal di Jakarta dengan suhu panasnya.



(bersambung ke bagian empat)

0 komentar: