Dari tempat perkemahan menuju gerbang
Kawah Putih cukup dekat. Sekitar
sepuluh menit berjalan kaki. Jalanannya pun keren. Dengan kanan-kiri pepohonan yang
rimbun serta banyak uap air menjadikannya semakin eksotis. Tak lupa sedikit foto-foto di jembatan
yang kami lalui.
Juga di gerbang utama Kampung Cai Ranca Upas. Ternyata kami
kemarin masuk ke Ranca Upas melalui jalan samping yang kecil dan menyeramkan. (Pantesan
Fitriya takut).
Saat di depan gerbang Kawah Putih, ada
angkot yang menawarkan untuk mengantar kami ke atas. Tentu saja kami menolak.
Alasannya karena satu mobil saja bisa 100.000 ditambah biaya masuk, kalau jujur
sih 15.000/orang. Belum lagi retribusi angkot itu naik seharga 65.000. Total kalau carter angkot untuk enam orang
bisa 255.000
Coba bandingkan dengan memakai angkutan
resmi Kawah Putih bernama Ontang-Anting dengan biaya masuk 28.000/orang (15.000
biaya masuk, dan 13.000 biaya Ontang-Anting). Kalau dijumlahkan sekitar 168.000
Jauh kan, bedanya?
Pertama naik Ontang-Anting masih bingung,
kenapa namanya begitu? Dalam bayanganku Ontang-Anting itu mirip Kora-kora di
Ancol. Ternyata cuma angkutan mobil carry
biasa yang dimodifikasi bagian belakang terbuka kanan-kiri. Lalu di depan
tempat duduk ada besi-besi sebagai tempat pegangan. Catatan, kalau mengajak
anak kecil sebaiknya didudukkan di tengah saja. Supaya aman.
Di Kawah Putih tidak bisa lama-lama,
karena di pagi hari bau sulfur sangat menyengat. Kami Cuma sekitar 15 sampai 20
menit saja di sana. Tak lupa berfoto-foto. Sayangnya, walau masih pagi, sinar
matahari sangat terang di sini. Kamera handphone tak akan menolong banyak.
Paling yang cukup bisa diandalkan kamera I-Phone milik Pur saja. Lainnya...
gelap.
Tapi jangan khawatir. Di sana banyak mamang
yang menawarkan foto langsung jadi. Murah kok, hanya 10.000 saja per lembar.
Dan Fajri berbaik hati mau membayarkan foto bersama kami ini.
Walau terlihat panas, tapi suhu tetap
dingin, lo. Iseng-iseng saya
minta difoto di tengah pepohonan sama Mas Pur.
Tak lupa juga sebagai penutup kami berfoto
di depan tulisan besar “Kawah Putih”. Biar afdol, pastinya. ^_^
Puas sudah kami di atas sini. Waktunya
turun, tentu memakai Ontang-Anting lagi. Tenang saja, biaya 13.000 tadi sudah
termasuk untuk turun ini.
Saat turun ini barulah kami tahu makna
nama “ontang-anting”. Turun di jalan yang curam, berkelok, dengan kecepatan
tinggi memang akan membuat siapa saja ter-ontang-anting kanan-kiri. Huwala. Lumayan spot jantung kalau lagi
papasan mobil mau ke atas. Sudah begitu mamang supir tenang-tenang saja
menyalip mobil di turunan. Aish!
Alhamdulillah, kami selamat sampai di
bawah. Di gerbang, Hadi minta waktu untuk sarapan. Akhirnya kami makan bakwan
malang yang mangkal di dekat situ.
Setelah kenyang, kita memutuskan pulang. Niat
awalnya mau ke kampung stroberi sekalian lewat, tapi menurut informasi ibu-ibu
penjual stroberi tadi, saat ini stroberi sedang kecil-kecil karena musim hujan.
Hmm, gitu ya. Oke deh.
Kita pulang memakai angkot kuning sampai Terminal
Ciwidey, lalu memakai ”oven” L300 sampai Leuwi Panjang. Tapi tidak separah
berangkatnya. Kali ini mobil tersebut terasa cukup nyaman. Buktinya kami semua
bisa tidur (atau karena kami terlalu capai setelah semalaman bergadang, ya?)
Sampai di Leuwi Panjang hal pertama yang
kami cari adalah mesin ATM. Sebenarnya uang masih cukup di dompet untuk sekadar
pulang ke Jakarta. Tetapi entah mengapa, pasti akan merasa nyaman kalau membawa
uang lebih.
Di sini juga kami berenam berpisah.
Fitriya naik bus yang langsung menuju Tangerang. Hadi naik jurusan Cibinong.
Pur langsung menuju Pulo Gadung, dan sisanya yaitu Saya, Deshinta, dan Fajri menuju
Kp. Rambutan. Perjalanan nekat kami berakhir dengan meninggalkan kesan
mendalam. Terutama tentang suhu dingin di Ranca Upas itu.
Setelah sampai Jakarta, saya iseng googling suhu di Ranca Upas malam hari. Hasilnya
mengejutkan, suhu di sana bisa mencapai 0°
Pantas saja coki-coki yang deshinta bawa enggak
bisa dimakan karena beku.[]
0 komentar:
Posting Komentar