A.
Tugas-Tugas Perkembangan Remaja Berkenaan
Dengan Kehidupan Berkeluarga
1.
Pengertian Kehidudupan Berkeluarga
Bagian ini menguraikan tugas perkembangan remaja dalam hubungannya
dengan persiapan mereka untuk memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan
berkeluarga. Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa secara biologis pertumbuhan
remaja telah mencapai kematangan seksual, yang berarti bahwa secara biologis
remaja telah siap melakukan fungsi produksi. Kematangan fungsi seksual tersebut
berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja dan telah mulai tertarik kepada
lawan jenis. Garrison (1956) menyatakan bahwa dorongan seksual pada masa remaja
adalah cukup kuat, sehingga perlu dipersiapkan secara mantap tentang hal-hal
yang berhubungan dengan perkawinan, karena masalah tersebut mendasari pemikiran
mereka untuk mulai menetapkan pasangan hidupnya. Untuk ini sekolah perlu
memberikan perhatian secara khusus tentang masalah-masalah perkawinan tersebut,
dalam bentuk pendidikan seksual atau kegiatan yang lain bagi remaja sebagai
persiapan baginya dalam menghadapi fungsinya sebagai orang tua di kemudian
hari.
Berkenaan
dengan upaya untuk menetapkan pilihan pasangan hidup, perkembangan sosial psikologis
remaja ditandai dengan upaya menarik lawan jenis dengan berbagai cara yang
ditunjukkan dalam bentuk perilaku. Remaja laki-laki berupaya untuk mencapai
posisi prestasi akademik dan atletik (bidang olah raga) yang baik, sebab kedua
hal itu merupakan gejala yang "dinilai" sebagai pertanda unggul dan
menunjukkan kehebatan di antara sesama laki-laki. Sebaliknya bagi remaja wanita
berupaya untuk menjadi "seorang wanita" yang baik. Upaya menjadi
wanita yang baik itu diartikan sebagai " wanita yang dikenal baik" di
mata laki-laki, maka seorang gadis perlu berperilaku "baik"
sebagaimana "diharapkan oleh laki-laki". Wanita perlu menjadi gadis
yang "manis", tidak terlalu hebat di dalam bidang akademik, tidak
terlalu banyak bicara di dalam kelas, tetapi harus menjadi wanita yang sportif
di hadapan seorang laki-laki (Sherman dan Wood, 1979: 152). Dari studi yang
dilakukan Mirra Komarovsky (Sherman dan Wood, 1979: 152), 40 persen gadis yang
diwawancarai menyatakan lebih banyak "membisu" pada saat berkencan
dengan laki-laki, sekurang-kurangnya "hanya bicara seperlunya".
Popularitas bagi wanita pada kenyataannya diartikan sebagai wanita yang
berhasil dalam pergaulan di sekolah menengah, bukan karena kehebatan dalam
"berpikir" dan dalam perilaku atletisnya. la (mereka) lebih baik
memainkan perannya dalam "pimpinan penggembira" atau cherleader.
Peringatan ulang tahun ke-17, bagi seorang gadis sangat penting. Sebab hal itu
berarti pula sebagai "advertensi " baginya dalam upaya menentukan
pilihan pasangan hidupnya. Dalam situasi pergaulan yang khusus atau berkencan,
seorang gadis hendaknya dalam sikap pasif dan perjaka yang lebih bersikap
aktif.
Pada umumnya remaja, khususnya wanita, tidak
mengalami kesulitan untuk menerima tugas tersebut. Hanya sebagian kecil dari
mereka mengalami sedikit kesulitan. Umumnya mereka yang mengalami kesulitan itu
adalah remaja wanita (gadis) yang menginginkan kedudukan yang sama dengan
laki-laki. la (mereka) merasa dan menganggap dirinya memiliki potensi yang
sama dengan laki-laki, sehingga ia ingin bebas dan mandiri seperti halnya
laki-laki. la lebih mengagumi kehebatan ayah, sehingga pemikirannya terbawa
untuk ingin sama dengan ayahnya (havihurst dalam Kasiram, 1985: 55).
Terlebih dari yang diuraikan diatas. Materi
Penyiapan Kehidupan Berkeluarga dirasakan sangatlah penting bagi Remaja karena
merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah-masalah remaja yang
berkaitan dengan praktek kehidupan dalam keluarga. Dengan memberikan informasi
yang tepat dan benar tentang kehidupan berkeluarga sehingga para remaja
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang konsep kehidupan berkeluarga.
Informasi ini disertai dengan contoh-contoh konkrit dari pasangan suami isteri
yang telah berhasil dalam membina kehidupan berkeluarga.
Terlihat terlalu dini dalam mengenalkan konsep
berkeluarga?
Sebenarnya tidak, sebab setiap individu yang mulai
masuk dalam tingkat kematangan seksual diindikasikan terjadi penyalahgunaan
terhadap dorongan biologis kedewasaannya. Untuk itu, pemikiran serta
kepribadian mengenai praktek kehidupan berkeluarga.
Menurut Dr. Sugiri Syarief (Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional [BKKBN]) untuk
merealisasikan keluarga ideal, disarankan agar para keluarga di Indonesia
melaksakan delapan fungsi keluarga.
a) Pertama adalah fungsi agama.
Ini merupakan fungsi yang mendorong keluarga agar dapat menjadi wahana
pembinaan kehidupan beragama yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
b) Kedua, adalah fungsi sosial
budaya dimana diharapkan para keluarga dapat menjadi wahana pembinaan dan
persemaian nilai-nilai yang luhur dari budaya tersebut, sehingga nilai luhur
yang selama ini sudah menjadi panutan dalam kehidupan berbangsa tetap dapat
dipertahankan dan dipelihara.
c) Ketiga adalah fungsi cinta
kasih. Mengapa cinta kasih? Tentu karena cinta kasih memiliki makna untuk
mendorong keluarga agar dapat menciptakan suasana cinta dan kasih sayang dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d) Keempat adalah perlindungan
yang diartikan untuk mendorong keluarga agar dapat menciptakan suasana aman,
nyaman, damai, dan adil bagi seluruh anggota keluarganya.
e) Kelima adalah fungsi
reproduksi berintikan, yakni setiap keluarga dapat menerapkan cara hidup sehat,
mengerti tentang kesehatan reproduksinya.
f) Untuk yang keenam adalah fungsi
pendidikan, yang bukan hanya berhubungan dengan kecerdasan, melainkan juga
termasuk pendidikan emosional dan juga pendidikan spiritualnya.
g) Adapun fungsi ketujuh ekonomi
yang diharapkan juga dapat mendorong keluarga agar dapat membina kualitas
kehidupan ekonomi keluarga, sekaligus dapat bersikap realistis serta
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga.
h) Dan yang terakhir adalah
fungsi lingkungan, di mana diharapkan keluarga dapat menciptakan kehidupan yang
harmonis dengan lingkungan masyarakat sekitar dan alam.
2.
Timbulnya Cinta dan Jatuh Cinta
Hampir setiap pemuda (laki-laki atau wanita)
mempunyai dua tujuan utama,pertama
menemukan jenis pekerjaan yang sesuai dan, kedua
menikah dan membangun sebuah rumah tangga (keluarga).Hal ini tidak selalu harus
muncul dalam aturan tertentu,tetapi perlu dicatat bahwa seorang remaja akan
mengalami “jatuh cinta” di dalam masa
kehidupanya setelah mencapai belasan belasan tahun (Garison, 1956: 483).Mulai
saat itu laki-laki atau wanita telah berangan – angan untuk menemukan pasangan
hidup yang ideal.Hal ini tentu saja merupakan tugas yang amat berat.Gejala
perilaku setiap orang yang jatuh cinta tidak selalu sama dan mungkin seoarang
remaja telah mulai mempelajari peran seksual lebih baik bila dibandingkan
remaja lain, dan sebaliknya terdapat remaja yang belum mengetahui mengenai
peran seksual yang sebenarnya.
Alasan atau faktor yang mempengaruhi
seseorang mengalami jatuh cinta bermacam-macam, antara lain adalah faktor
kepribadian,faktor fisik,faktor budaya,latar belakang keluarga,dan faktor
kemampuan.Seperti pertimbangan yang digunakan oleh orang jawa, dalam pemilihan
pasangan hidup dilihat dari segi yaitu: “bibit” atau faktor ketu-runan,”bebet”
atau faktor status sosial, dan “bobot” atau faktor ekonomi.
Para ahli ilmu jiwa sosial sependapat
bahwa konsepsi yang menentukan saling tertariknya antara person relevan dengan
upaya menciptakan dengan hubungan yang akrab (intim) dan hal itu berlangsung
dalam kurun wktu yang relatif panjang. Hal
ini ditentukan pertimbangan biaya, dan hal yang berkaitan denga peranan
masing-masing pihak dalam mengawali dan menjaga hubungan satu sama lain
(Levinger – 1980, dalam Worchel dan Cooper, 1983: 279), Secord dan Bckman
(1974) menyatakan bahwa menciptakan hubungan yang intim, dicapai melalui tiga
tahap, yaitu: (1) tahap eksplorasi
menjajagi masalah-masalah yang berhubungan dengan pujian atau
penghargaan dan keuangan, (2) tahap
penawaran, dimana pasangan itu menjalin berbagai janji. Tidak ada ketentuan
formal dalam perjanjian ini ,tetapi yang muncul dan dianggap penting dalam hal
ini adalah saling pengertiannya tentang latar belakang hubungan mereka, dan (3)
tahap komitmen. Tahap komitmen ini di tandai oleh saling ketergantungan
masing-masing. Disamping tiga tahap ini Backman mengajukan tahap keempat yang
disebut tahap institusionalisasi yang ditandai kesepakatan-kesepakatan untuk
hidup masa depan. Hal ini juga ditandai oleh pemahaman satu sama lain termasuk
pemahaman pihak lain yng menyaksikan hubungan tersebut (dalam Worchel dan
Cooper, 1983:279).Hasil penelitian belumembedakan antara berbagai macam
pendekatan tentang bagaimana mengenal tahap-tahap itu,hampir semua teori
menyepakati adanya perubahan tentang cara pasangan itu saling beraktifitas
untuk meningkatkan keakraban hubungan mereka.
Teori lain telah pula mendiskusikan adanya sedikit perbedaan pandangan tentang
tahap-tahap yang ada dalam perkembangan keakraban hubungan antarremaja
(Levinger ,1980). Dari diskusi dapat diidentifikasi perubahan-perubahan
perilaku remaja dalam melakukan pergaulan dengan lawan jenis.Perubahan
perubahan perilaku itu telah dikemukakan secara ringkas oleh Burgess dan Huston
sebagai berikut :
1)
Mereka lebih sering berhubungan
dalam periode waktu yang agak lama.
2)
Mereka mencapai pendekatan bila
berpisah dan merasa ada peningkatan hubungan bila bertemu kembali.
3) Mereka terbuka satu sama lain tentang
perasaan yang mereka rahasiakan dan secara fisik menunjukan keakraban.
4) Mereka menjadi lebih terbiasa dan saling
berbagi perasaan suka dan duka.
5) Mereka mengembangkan sistem komunikasi
mereka sendiri, dan komunikasi itu meningkat lebih efisien.
6) Mereka meningkatkan kemampuan
masing-masing dalam merencanakan dan mengantisipasi kenyataan kehidupan dalam
masyarakat nanti.
7) Mereka menyinkronkan tujuan dan
perilakunya, dan mengembangkan pola interaksi yang cenderung tetap.
8) Mereka meningkatkan investasi mereka dalam
hal hubungan dan memperluas lingkup kehidupan mereka yang penting.
9) Mereka sedikit demi sedikit mulai
merasakan bahwa interes mereka masing masing merupakan ikatan yang tak dapat
dipisahkan demi kebaikan hubungan mereka.
10)
Mereka meningkatkan perasan
saling menyenangi, mempercayai, dan mencintai demi kepentingan bersama.
11)
Mereka melihat hubungan
tersebut sebagai yang tak tergeser, atau setidak-tidaknya sebagai suatu yang
unik.
12) Mereka semakin akrab satu sama lain
sebagai sejoli dan bukan sebagai individu.
3.
Masyarakat dan Perkawinan
Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon
Politicon” artinya manusia selalu bersama manusia lainnya “”dalam pergaulan
hidup dan kemudian bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan
suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan
saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk
hidup bersama yang terkecil adalah keluarga
- Pengertian Keluarga
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan
sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Ahmad A, (1997:69) mendefinisikan
perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan pengakuan
kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar
keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari pihak
perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk menghalalkan hidup
serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi dan
menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).
Perkawinan antara pria dan wanita bukan
saja masalah yang didorong oleh faktor biologis, melainkan diatur oleh berbagai
aturan atau norma yang berlaku di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
Di samping faktor fisik (biologis) dan
psikologis, faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan calon
pasangan hidup adalah kesamaan-kesamaan dalam hal ras, bangsa, agama, dan
status sosial ekonomi.
Perkawinan memiliki manfaat yang paling
besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu
adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga
keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan
kehidupan manusia serta menjaga ketentraman jiwa.
Selain memiliki faedah yang besar,
perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga
yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai
dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1
bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita
dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sesuai dengan rumusan itu, perkawinan
tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin
inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan
keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbutan itu menimbulkan
akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya. Sedangkan
sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan
dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu
sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.
- Pengertian Kesejahteraan Keluarga
Dalam hal ini yang dimaksud kesejahteraan adalah kesejahteraan sosial.
Dalam UU No. 6 tahun 1974 kesejahteraan sosial adalah “Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual
yang diliputi oleh rasa.
Keselamatan kesusilaan, dan ketentraman lahir batin
yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan jasmaniah, rohaniah, sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta
masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia juga kewajiban manusia
sesuai dengan Pancasila”.
Keluarga merupakan kelompok golongan masyarakat
yang kecil terdiri dari ayah(suami), ibu (istri) dan anak.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan kesejahteraan keluarga adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial material maupun spriritual di dalam suatu keluarga yang
diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan keluarga tersebut untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan
jasmaniah rohaniah dan sosial sebaik-baiknya.
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk
menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh
karena itu dalam kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta
komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di
tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan
motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada dirinya
sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku & Artikel :
v Ahmad. A. 1997. Psikologis Perkembangan. CV.
Rineka Cipta. Jakarta
v Anonim. 8 Maret 2011. BKKBN Garap Generasi Muda yang Memasuki Usia
Nikah. Harian Pelita; Rubrik Kesra &
Agama, hal.8
v Anonim. 29 Juni 2011. Hari Ini Wapres Buka Peringatan Hari Keluarga. Harian Pelita; Rubrik Ekonomi &
Keuangan, hal.12
v Konopka. 1997. Psikologi Perkembangan Pengantar
Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah Mada. University Press. Yogyakarta
v Sunarto dan Agung Hartono, 2006, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
v Untung, Fario. 29 Juni 2011. Delapan Fungsi Keluarga Citakan Keluarga
Ideal. Jakarta: Media Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar